Copyright © 2010-2013
Selasa, 31 Agustus 2010

Day #30: Before We Begin

"Here again, at the end. Before the beginning"

Postingan ini adalah akhir dari misi menulis 30 hari yang saya mulai tanggal 2 Agustus 2010 lalu. Hari ini, tepat 30 hari saya telah mencorat coret blog ini dengan kata dan juga melodi.

Apakah postingan ini adalah postingan saya terakhir di blog ini? Mudah-mudahan tidak. Sedianya, postingan ini adalah penutup dari fase pertama. Sebelum nantinya, saya memulai kembali untuk fase berikutnya yang juga akan dipenuhi oleh kata dan juga melodi yang mana menjadi tema sentral dalam blog Madah Bakti.

Ini adalah akhir dari awal.

Setiap postingan blog atau catatan harian selalu akan dibayang-bayangi oleh masa berakhir. Apakah sebuah postingan akan menjadi postingan terakhir dari seseorang? Apakah sebuah tulisan adalah tulisan terakhir yang dapat dibaca di blog? 

Tidak ada yang tahu secara pasti. Bahkan si empunya blog biasanya tidak dapat memprediksi kapan blognya akan berakhir. Biasanya si empu blog tidak sengaja untuk mengakhiri blognya begitu saja. Tanpa pemberitahuan. 

Kalau sudah begitu situasinya, seperti biasa, sang waktu akan kembali menjadi kambing hitam. Janji akan terus menulis di blog pada akhirnya kandas ditelan kesibukkan.

Jadi sebelum saya kembali memulai menuai janji seperti yang telah saya lakukan di paragraf kedua dalam tulisan ini, saya membutuhkan semangkuk penuh kepercayaan dari saya sendiri dan juga dari pembaca bahwa blog ini tidak akan mati di hari ketiga puluh.


Day #29: Writing Over The Sign



Mungkin ini sebuah semiotika. Penanda dan pertanda yang bisa jadi bersifat linear atau abriter. Namun saya tidak akan menggunakan teori Peirce, Saussure ataupun Barthes. Yang saya gunakan hanya teori purba, dimana saya menulis ulang di benak dari apa yang saya tangkap, lihat dan rasakan.


Writing over the sign you wrote. Because its this way. This way that I want to walk.

Writing over the sign that you made. Because its this way. This way that I believe.

Little blue, a quiet mood. I see a boundary along the street. You came up to me with a smiley face.
I said “boy, your going to walk by yourself.”

Wondering who sail up to the sky. So tired that I fall asleep. If waking up the street that nobody knows.
Then I seer decision of the black well mole. Where the soldier learns. 
Because its this way. This way that I believe.

Where you don’t find a way. Because its this way. This way that I believe.

Even the wolf . Looks for someone to talk. We only thought it was his own safe.
Or it’s a truce. its missing an after all. Something more. Something more.
Something more from the night.

Writing over the sign you made. Because its this way, this way. that I want to go.

Writing over the sign that you made. Because its this way.
This way that I believe.

Writing over the sign you know. Because its this way. This way that I believe.
Because its this way. This way that I believe. Because its this way.
This way that I believe.

Day #28: Substitute

"You and I have a special talent, and I saw it immediately. We’re the substitute people. I’ve been the substitute person my whole life. I like it that way. It’s a lot less pressure."


Kalimat di atas diucapkan oleh Claire Colburn kepada Drew Baylor, dua tokoh utama dari film Elizabethtown. Persepsi saya, kalimat itu dikatakan Claire untuk meyakinkan Drew bahwa ia tidak suka merasa dibutuhkan dan juga merasa membutuhkan selama menjalin hubungan percintaan. Seperti status orang pengganti yang biasanya tidak membutuhkan banyak syarat. Karena paling tidak ia sudah melaksanakan tugasnya sebagai pengganti.

Pengganti ada untuk mengisi kekosongan. Atau dapat menjadi alternatif dari sesuatu yang sudah lebih dulu ada. Ya, pengganti akan selalu berkaitan dengan masa lalu. Dibandingkan dan disamakan. Pengganti kerap dianggap sebagai terbaik nomer dua. Sedangkan nomer pertamanya, pastinya yang ada sebelumnya. 

Namun hal tersebut tidak selamanya benar. 

Pengganti juga bisa dianggap sebagai sebuah perbaikan dari sesuatu di masa lalu. Akan lebih berarti jika kita dapat mengganti hal-hal buruk yang telah kita lakukan sebelumnya. Pengganti juga dapat menjadi opsi baru yang menyegarkan dari sesuatu yang telah usang yang memang perlu diganti.

Pengganti tidak selalu dikaitkan dengan sesama saja. Namun juga dapat mengganti kesalahan di belakang dan juga untuk mengganti keadaan yang tidak nyata.

Elizabethtown ini menjadi salah satu contoh film dimana subtitusi menjadi kata kunci bagi keseluruhan cerita. Film ini menunjukkan, apa yang sebelumnya menyakitkan dapat diganti oleh kesembuhan. Apa yang sebelumnya dipenuhi kegagalan, dapat tergantikan oleh kemenangan.

"I want you to get into the deep beautiful melancholy of everything that's happened, " pinta Claire kepada Drew yang baru memulai perjalanan darat yang telah dirancang Claire untuknya.

Dan di akhir perjalanan, Drew lalu menyadari semua kesedihannya kini telah tergantikan oleh kebahagiaan.


Day #27: I Realized You


Ada ungkapan klise yang menyatakan, bahwa kita sering menyadari sesuatu itu berharga ketika sesuatu itu telah hilang atau pergi. Sepertinya kata menyadari cukup lekat dengan kata terlambat. Menyadari sering tiba di waktu yang tidak tepat.

Berarti selama ini, kita sering hidup dengan ketidaksadaran? 

Freud mengistilahkan ketidaksadaran sebagai gunung es dimana puncak gunung es (kesadaran) yang dapat kita lihat sebenarnya hanyalah bagian kecil dari keseluruhan gunung es yang tidak terlihat di bawah permukaan air (ketidaksadaran).

Jadi walaupun kita menyadari kita hidup dan bernafas, namun ketidaksadaran dengan kekuatannya yang besar selalu menghantui hidup ini. Seperti ketika kita tidak sadar telah berkata sesuatu yang menyakitkan perasaan orang lain. Atau ketika kita tidak sadar telah memukul seseorang karena sedang naik pitam.

Semua ketidaksadaran itu dapat timbul karena rutinitas (kita sering melakukan sesuatu secara otomatis) dan juga ketidaksadaran akan perasaan yang datang silih berganti.

Menyadari perasaan yang muncul setiap waktunya rasanya memang tidak semudah seperti yang dibayangkan. Bagaimana kita mengenali, mendefinisikan dan mengakui berbagai perasaan yang ada dalam waktu yang tepat.

Maka dari itu, jika kita sudah dapat menyadari sesuatu yang kita rasakan itu sebagai sebuah hal negatif, kita dapat membuangnya dengan segera. Begitu juga sebaliknya, jika kita menyadari sesuatu yang kita rasakan itu sebagai sebuah hal yang positif, maka kita dapat menjaga serta menikmatinya selagi sesuatu itu belum pergi tanpa pamit. Paling tidak, agar ungkapan klise yang saya sebut di atas tidak terulang kembali.


Jumat, 27 Agustus 2010

Day #26: Happiness

48 tahun lalu, John Lennon menulis lagu yang menyinggung kebahagiaan dengan tajuk "Happiness Is a Warm Gun." Lagu ini pada akhirnya menjadi salah satu lagu multi tafsir terpopuler karena banyak sekali ragam interpretasi mengenai apa definisi kebahagiaan sesungguhnya yang dimaksud John Lennon di lagu tersebut.

Sebenarnya, kebahagiaan itu sendiri rasanya tidak perlu didefinisikan. Terlebih dicari apalagi hingga terobsesi.

Namun kebahagian bisa diharapkan.

Salah satu ucapan ulang tahun ke teman yang sering saya katakan adalah semoga bahagia. Bukan semoga panjang umur ataupun semoga banyak rejeki. Saya selalu berharap, kebahagiaan seharusnya tercipta di dalam setiap jiwa.

Walaupun hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang banyak dialami oleh para sastrawan dan juga musisi yang secara tidak langsung 'menolak' kebahagiaan demi terciptanya mahakarya yang agung.

Mereka ini adalah kumpulan orang yang berteman baik dengan kesedihan. Dimana kesedihan dapat menjadi elemen terbaik bagi timbulnya proses kreatif.

Orang-orang seperti itu yang patut diacungi jempol ketika energi kesedihan dapat mereka olah sedemikian rupa menjadi sebuah energi kreatif yang pada prosesnya, sesungguhnya menciptakan sepercik kebahagiaan dalam kesedihan.

Saya yakin, para sastrawan dan musisi kesedihan itu pun pada akhirnya bisa merasa bahagia. Karena apa yang mereka hasilkan adalah kejujuran dari apa yang mereka rasakan dan percaya akan kebenarannya.

Jadi kebahagiaan bisa dikatakan sebuah proses kreasi. Kebahagiaan diciptakan namun tidak langsung dapat dirasakan. Kebahagiaan membutuhkan keikhlasan, kepercayaan dan pastinya, cinta.

Jika semua itu sudah terpenuhi, melalui waktu dan kesadaran maka eksistensi kebahagiaan akhirnya dapat kita rasakan.


Goldfrapp - Happiness

Day #25: The Sun, The Moon and Stars

Dari dulu, manusia memiliki kecenderungan untuk menyukai segala sesuatu yang berada di luar jangkauan mereka. Sesuatu yang tidak dapat disentuh secara fisik, pasti akan menimbulkan berbagai harapan ataupun keingintahuan yang besar.

Sesuatu yang berada di luar jangkauan itu lah yang juga menjadi inspirasi terbesar dari banyak seniman selama ini.

Salah satunya, banyak karya seni yang tercipta dari benda-benda luar angkasa, seperti matahari, bulan dan juga bintang. Ketiganya ini nyata namun masih berada di luar jangkauan. Manusia tidak dapat menyentuhnya secara langsung. Mmh..kecuali mungkin para astronot yang pernah menyentuh bulan dalam arti kata sebenarnya.

Berbicara mengenai tiga benda luar angkasa ini: bulan, bintang dan matahari, semuanya juga memilki konotasi yang berbeda jika diterapkan ke dalam sebuah karya seni, dalam hal ini saya berbicara musik.


Lagu yang menyertakan matahari sebagai inspirasinya, biasanya adalah lagu yang ceria dan bersifat optimis. Sementara lagu yang menyertakan bintang dan bulan sebagai inspirasi kerap terdengar melankolis ataupun penuh kesenduan.

Penggunaan tiga benda angkasa ini dalam dunia musik juga tidak hanya menjadi insiprasi dari sebuah lagu. Di tahun 60an, ada sebuah genre musik bernama Sunshine pop. Grup-grup musik yang berada di genre ini biasanya menyanyikan lagu-lagu pop manis yang cerah, secerah sinar matahari.

Namun, apa jadinya jika ketiga benda angkasa yang memiliki nuansa berbeda-berbeda ini disatukan menjadi sebuah lagu? Apakah akan memiliki unsur-unsur dari ketiganya?

Prince dapat dikatakan cukup berhasil menyatukan ketiga benda luar angkasa ini melalui lagu cinta multi dimensi, "The Sun, The Moon and Stars" yang dimuat dalam albumnya di tahun 1999. Di lagu ini, Prince mengungkapkan sebuah perasaan yang begitu hebat dimana dapat membuatnya merasa bahwa matahari, bulan dan bintang tidak lagi di luar jangkauannya dan tidak sejauh dari apa yang ia lihat sebelumnya.

Prince - The Sun, The Moon and Stars

Day #24: Hidden

Apakah rahasia itu selalu tersembunyi? Atau tersembunyi itu selalu rahasia?

Dua kata ini, rahasia dan tersembunyi, walau memiliki makna sendiri-sendiri, namun penggunaanya sering sekali dipadupadankan. Mungkin karena konotasinya hampir mirip antara keduanya. Sama-sama misterius.

Bagaimanapun, rahasia tidak selamanya tersembunyi. Dan yang tersembunyi tidak selamanya menjadi rahasia.

Saya sendiri lebih menyukai kata tersembunyi jika dibandingkan dengan kata rahasia. Alasannya, tersembunyi itu terasa lebih hangat dan rendah hati dibandingkan rahasia yang seakan-akan berdiri tegak dengan dinding keangkuhan, tidak ingin diketahui oleh orang lain. 

Sedangkan, tersembunyi berada di bawah radar karena berbagai alasan yang sebenarnya tidak ingin disembunyikan. Tersembunyi menjalani kodratnya sebagai tersembunyi mungkin karena ketidaksengajaan. Jika memang disengaja untuk disembunyikan, mungkin memang belum waktunya untuk diketahui.

Ketika rahasia tidak mau memiliki waktu yang tepat untuk diketahui keberadaannya, tersembunyi selalu menunggu waktu yang tepat untuk diketemukan.


Rabu, 25 Agustus 2010

Day #23: Sparks

Beberapa waktu lalu, seorang teman pernah menolak untuk dijodohkan. Teman saya ini seorang pria yang telah berumur di pertengahan 30 dan belum menikah. Wanita yang dicoba dijodohkan dengannya kurang lebih berusia sama.

Setelah beberapa kali pertemuan dan saling berkomunikasi melalui telepon dan juga sms, teman saya menolak untuk melanjutkannya lebih dalam lagi. Ia beralasan, "Nggak euy. Nggak ada sparknya. Buat apa dipaksakan?"

Spark. Di dalam bahasa Indonesia kita mengenal padanan kata itu sebagai percikan.


Sebuah reaksi alamiah ketika dua manusia saling menemukan ketertarikannya. Namun percikan ini juga ternyata juga tidak mudah untuk menemukannya. 

Percikan ini biasa datang tak diundang dan mungkin juga pulang tak diantar. Sama seperti jelangkung. :D Percikan datang bisa kapan saja dan dimana saja.

Karena dimensinya yang tidak besar, kehadiran percikan kerap terlambat disadari. Terkadang dibutuhkan momen tertentu untuk menyadari kedatangannya.

Bisa saja percikan itu disadari kehadirannya ketika tanpa sengaja, terjadi sentuhan fisik dari dua orang yang saling tertarik. Bisa juga, percikan datang ketika bangun tidur dari sebuah mimpi yang penuh pertanda.

Entah terdiri dari apakah molekul percikan ini hingga membuat manusia seakan-akan seperti sanggup membuat sebuah lampu pijar menyala sendiri hanya dengan menyentuhkan tangan.

Percikan walau belum menjadi nyala api, namun kekuatannya juga tidak dapat disepelekan.

Dan seperti suara hati yang kerap terdengar sayup-sayup, percikan juga perlu dipercaya. Agar ia dapat berkumandang dengan lantang.


"I saw sparks, sing it out." 


Selasa, 24 Agustus 2010

Day #22: 11:11

Bagi banyak orang, angka merupakan sebuah tanda atau lambang. Sebagian lagi menganggap angka adalah nilai.

Tentu kita masih ingat di masa kecil, angka kerap menjadi momok yang menakutkan. Angka adalah lambang dari pelajaran yang rumit dan membosankan (baca: Matematika). Dan angka juga yang selalu menghantui di buku raport ketika ia berfungsi sebagai nilai.

Saya sendiri selalu bermasalah dengan angka. Dari jaman SD hingga kuliah, setiap pelajaran yang mengandung banyak angka selalu akan meresahkan saya. 

Di kehidupan sehari-hari, angka juga selalu mengusik saya. Mulai dari sulitnya menghitung pengeluaran dan pemasukan setiap bulan hingga contoh yang paling simpel, membaca dan mencatat nomer telepon teman di ponsel yang selalu membuat saya mencocokkan deratan angka-angka tersebut berulang kali.

Karena saya tidak menjalin keakraban dengan angka selama ini, maka dari itu saya juga tidak peduli dengan nomor-nomor cantik yang biasa dicari banyak orang untuk nomer ponselnya.

Satu-satunya nomor cantik yang saya miliki hanyalah tanggal lahir dan bulan kelahiran (69). Angka 6 dan 9 ini juga walau sering berkonotasi seksual namun jika ditelusuri lebih lanjut angka ini memiliki unsur yin dan yang.

Angka juga dipercaya dapat membawa makna tertentu. Kita mengenal adanya ilmu angka (Numerologi) yang dari jaman Babylonia hingga jaman modern ini masih digunakan oleh berbagai kepercayaan di seluruh dunia. Melalui ilmu ini, angka menjadi sebuah bahasa semiotik. 

Misalnya, seperti mencoba mencermati angka yang menjadi penanda keberuntungan, menelusuri angka yang menjadi tolak ukur dalam menentukan hari baik hingga mencoba memahami deretan angka pengganti huruf yang biasa digunakan untuk berkomunikasi oleh generasi Alay masa kini.

Makna angka bagi setiap orang juga akan selalu berbeda. Tergantung pemahaman dan kepercayaan kita. Menurut teori Gestalt, manusia cenderung melihat objek atau peristiwa sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Dari dasar ini lah, pemahaman akan angka bagi manusia menjadi bersayap.

Salah satu deretan angka yang menimbulkan tafsir bersayap adalah 11:11. Begitu banyak misteri yang ada dari angka kembar ini. Silahkan ketik angka ini di mesin pencari, maka akan menghasilkan berbagai ragam interpretasi yang ajaib.


Deretan angka 11:11 membuat sebuah fenomena tersendiri yang telah menginspirasi para seniman dalam dunia film dan juga musik. Melalui 11:11 mereka 'dibangunkan' untuk berkarya.

Salah satu penafsiran 11:11 adalah sebuah spiritual "wake up" call dimana kita disadarkan untuk 'bangkit' dan berbuat sesuatu. Dan mungkin saya juga seperti disadarkan melalui 11:11 bahwa angka tidak selamanya akan meresahkan. Angka juga dapat menjadi kajian menarik untuk ditelusuri lebih dalam.

Terima kasih 11:11, berkatmu, kini saya bisa menjalin hubungan yang lebih hangat dengan angka.

Rufus Wainwright - 11:11

Minggu, 22 Agustus 2010

Day #21: I Wanna Live In Dream, In My Record Machine

Seringkali kita bermimpi namun kita tidak dapat mengingatnya dengan jelas saat kita terbangun. Cukup aneh sebenarnya.

Manusia dapat mengingat dengan jelas kejadian di masa lalu yang telah berjalan beberapa tahun ke belakang, namun mengapa di pagi hari kita tidak dapat mengingat mimpi yang baru saja terjadi semalam?

Selalu ada kabut yang setia menghalangi mimpi.

Apakah benar mimpi itu sebuah dunia pararel yang berdiri sendiri dan terpisah dari dunia nyata? Jika memang benar seperti itu lalu mengapa mimpi juga menampilkan beberapa elemen yang kita alami di dunia nyata?

Begitu banyak pertanyaan, begitu banyak jawaban mengenai mimpi. Namun hanya satu harapan untuk mimpi yang selalu berkumandang setiap saya terbangun:

Andaikan mimpi dapat direkam dan bisa diputar kembali dan dinikmati di pagi hari sebagai teman minum kopi.




Day #20: Our Way To Fall

Jam saat ini menunjukkan pukul 1.50. Dan iTunes di komputer saya memutar lagu secara acak. Lalu seketika, lagu ini pun mengalun. Salah satu lagu favorit saya sepanjang masa. Dan saya berjanji akan mendengarkan lagu ini dimainkan secara langsung di hadapan saya, suatu saat nanti.

Yo La Tengo -  Our Way To Fall.

I remember a summer's day
I remember walking up to you
I remember my face turned red
And I remember staring at my feet
I remember before we met
I remember sitting next to you
And I remember pretending I wasn't looking

So we'll try and try
Even if it lasts an hour
With all our might
We'll try and make it ours
Cause we're on our way
We're on our way to fall in love

I remember your old guitar
I remember I Can't Explain
I remember the way it looked around your neck
And I remember the day it broke
I remember song you sang
I remember the way you looked tonight
And I remember the way it made me feel

So we try and try
Even if it lasts an hour
With all our might
We'll try and make it ours
Because we're on our way
We're on our way to fall in love 
Sabtu, 21 Agustus 2010

Day #19: Spit on a Strangers


Apakah di jaman internet ini kita masih mengenal istilah orang tak dikenal? Mau sebagaimana asingnya, kita masih dapat mencari paling tidak sedikit informasi tentangnya di rimba raya internet ini.

Walau kita tidak mengenal dengan dekat, namun kita dapat mengenalnya dari jauh.

Mencari identitas pribadi adalah kemampuan yang kini tidak hanya dimiliki oleh pihak kepolisian atau dinas rahasia saja. Yang diperlukan sekarang hanya lah nama atau kata kunci yang spesifik, maka semua orang yang pernah melakukan kegiatan berinternet dengan seijin Yang Maha Kuasa Google, dapat teridentifikasi.

Internet melahirkan jutaan pengintai setiap harinya. Dan pengintai di internet itu bukan lah seperti pengintai kejam berdarah dingin yang biasa ada di film-film action thriller. Pengintai yang ada bisa jadi merupakan seorang staf HRD yang memang harus mengintai calon karyawannya melalui Facebook. Atau pengintai itu merupakan seseorang pria yang tengah dilanda asmara yang sedang mencermati film atau musik apa dari kegemaran wanita yang tengah disukainya.

Akibat dari itu semua, ketika kita bertemu dengan seseorang yang tidak dikenal di kehidupan nyata, kita dapat seakan-akan lebih mengenalnya lagi di dunia maya. Jika keadaannya kita bertemu seseorang tak dikenal di sebuah kesempatan seperti di tempat umum dan kita tidak saling menukar kartu nama, nomer telepon atau pin BB, orang tersebut akan tetap berakhir menjadi orang asing bagi kita.

Seperti cerita di sebuah episode lama dari serial How I Met Your Mother yang kebetulan baru saya tonton kembali di televisi kemarin. Di episode tersebut, tokoh utama Ted bertemu dengan seseorang wanita di sebuah pesta perkawinan. Dari awal pertemuan, wanita itu sudah mengajukan sebuah aturan main, yakni kisah pertemuan mereka di malam itu tidak akan berlanjut keesokan harinya. Lalu mereka saling mengenalkan diri dengan nama palsu.

Akhirnya malam itu dihabiskan dengan indah oleh mereka berdua. Mereka berencana tidak akan bertemu kembali dan juga mencari tahu keberadaan masing-masing. Semuanya terhenti hanya di malam itu demi cerita yang dapat dikenang manis oleh keduanya di masa depan.

Cerita tadi adalah contoh dimana istilah orang tak dikenal atau "strangers" masih berlaku karena keduanya tidak memiliki bekal informasi apapun untuk melakukan pencarian di internet ataupun mencari melalui buku telepon. Lain cerita jika kita memang berusaha kuat untuk mengubah status "strangers" tadi dengan mencari tahu mengenai sang "strangers" melalui berbagai cara.

Namun, terkadang "strangers" itu harus tetap menjadi "strangers", dengan berbagai alasannya.

Pavement - Spit on a Strangers

Day #18: Motion Picture Soundtrack

Hari ini saya pertama kali turut serta dalam kegiatan Tai Chi. Kegiatan ini sudah beberapa kali terselenggara dan bertempat di Rumah Buku, jalan Hegarmanah, Bandung.

Selama ini saya selalu menganggap Tai Chi adalah senam bagi orang tua karena gerakannya yang lambat. Namun setelah mencobanya langsung, ternyata Tai Chi ini juga cukup menantang bagi orang-orang seusia saya. Walau gerakannya terbilang lambat, namun juga lumayan menguras keringat. Mungkin karena jumlah gaya atau jurus yang ada juga terhitung banyak.

Latihan Tai  Chi ini diawali dengan senam pernafasan yang diiringi musik yang telah disertai rekaman suara orang yang memberikan instruksi. Yah mirip seperti musik pengiring SKJ. Senam ini memiliki gerakan yang ternyata menjadi dasar bagi Tai Chi itu sendiri yang sesinya dimulai setelah latihan senam yang berlangsung sekitar 20 menit itu selesai.

Kini, Tai Chi banyak dikenal sebagai olahraga senam pernafasan. Namun di awal sejarahnya, Tai Chi itu  dikenal sebagai ilmu bela diri halus. Mengapa halus? Karena gerakannya yang terkesan lemah gemulai. Mungkin jika diterapkan untuk berkelahi secara nyata, Tai Chi ini akan banyak mengecoh lawan atau malah akan mengundang tawa dari lawan berkelahi karena gerakannya yang tidak meyakinkan.

Gerakan-gerakan yang lambat ini sebenarnya dilakukan agar kita dapat lebih merasakan energi-energi yang ada di sekitar kita. Dalam Tai Chi kita diharuskan untuk mengambil energi positif yang ada di alam dan membuang energi negatif yang ada di tubuh kita. Energi yang tak kasat mata inilah yang harus benar-benar dirasakan kehadirannya seiring kita mengambil nafas dan menghembuskannya secara perlahan dan dalam.

Tentunya, gerakan-gerakan anggun yang lemah gemulai dari Tai Chi akan bertambah indah jika diiringi oleh musik tertentu. Selain musik-musik tradisional Mandarin, musik-musik New Age sepertinya juga dapat menjadi pengiring yang selaras. Namun jika dapat memilih sendiri musik pengiring Tai Chi, lagu yang di bawah ini lah yang kebetulan terlintas di kepala saya pertama kali.

Mungkin, suatu saat nanti saya akan membuat mixtape yang menampilkan musik-musik yang sekiranya sesuai sebagai pengiring Tai Chi. Yang pasti semuanya akan memiliki tempo di bawah 40 bpm. :)


Radiohead - Motion Picture Soundtrack
Kamis, 19 Agustus 2010

Day #17: Everyday I Write The Book

Siang tadi sebuah tweet dari seorang teman menyadarkan saya, "Oh Twitter, I feel like I'm reading an endless novel continues stories from each of you."

Apa yang teman saya katakan itu, rasanya memang benar. Bisa dikatakan Twitter adalah salah medium pendokumentasian hidup paling instant saat ini. Semua orang menjadi 'penulis' bagi kehidupannya sendiri yang seketika dapat dibaca oleh sesamanya.

Namun, walau di dunia ini tidak ada Twitter, blog atau diari, hidup ini juga seperti sebuah buku besar dengan lembaran putih yang setiap hari kita 'tulis'. Kita semua kini tengah dalam proses menyelesaikan sebuah buku yang bertajuk "Kehidupan Saya."



Selasa, 17 Agustus 2010

Day #16: Tanah Airku

Hari ini, negeri dimana saya dilahirkan berulang tahun ke enam puluh lima. Dalam perjalanan hidupnya, negeri ini selalu dicintai dan juga selalu dibenci oleh rakyatnya sendiri.

Bagi saya, mau bagaimana pun bobroknya, negeri ini tetaplah menjadi rumah untuk berpulang.

Selamat ulang tahun tanah air tercinta, Indonesia.

Tanah Airku ciptaan Saridjah Niung Bintang Soedibio


Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Day #15: Complicated

Semalam, seorang teman tampak sedang gelisah. Jari dan matanya tak pernah lepas dari Blackberrynya. Ia sedang bersitegang dengan kekasihnya yang berbeda kota dengannya melalui sarana Blackberry Messenger.

Kehidupan percintaannya akhir-akhirnya ini memang selalu dilanda permasalahan yang akut. Di film Inception kita mengenal mimpi yang berlapis, maka di kehidupan percintaan teman saya itu, permasalahannya yang berlapis. Cukup pelik. Saya tidak perlu menceritakan detailnya, namun "complicated" adalah kata kuncinya. :)


Seorang teman lain berkata, ciri kehidupan percintaan anak jaman sekarang adalah "complicated." Jejaring sosial Facebook pun menyediakan status hubungan "It's Complicated" bagi penggunanya. Jadi apakah benar "complicated" itu sangat dekat dengan kehidupan percintaan jaman sekarang?

Hubungan percintaan pada umumnya adalah hubungan antara dua manusia. Dan kerumitan itu biasanya mudah sekali timbul jika hubungan yang ada bersinggungan dengan jumlah peserta yang lebih dari dua orang. Bisa jadi orang lain itu adalah sejarah di masa lalu atau malah pendatang baru.

Namun kerumitan yang ada juga tidak selalu timbul karena kehadiran orang lain. Bisa jadi timbul karena pertentangan hal prinsipil dari diri keduanya yang sama sekali tidak berkaitan dengan orang lain.

Saya tidak tahu pasti, apakah kehidupan percintaan di masa orang tua saya dulu kerap diwarnai oleh kerumitan seperti ini. Yang pasti, di jaman sekarang kerumitan hubungan percintaan terlihat semakin sering terjadi seiring berubahnya tatanan kehidupan sosial di masa kini.

Contoh paling mudah, di jaman orang tua kita, hubungan percintaan bisa timbul karena sering bertemu, sementara di jaman modern ini cinta bisa timbul dari dua orang yang bertemu di dunia maya dan sama sekali belum pernah bertemu muka di dunia nyata. Begitu banyak masalah dan kerumitan yang bisa timbul dari hubungan seperti ini. Misalnya jika keduanya ternyata telah memiliki hubungan percintaan masing-masing di dunia nyata.

Kerumitan percintaan di jaman sekarang juga bisa terjadi pada dua orang yang sebenarnya tidak memiliki hubungan resmi namun memiliki kedekatan selayaknya dua orang yang berpacaran. Mereka tidak mau berlanjut ke jenjang hubungan yang lebih dalam mungkin karena satu dan lain hal. Jadi bagi mereka yang menganut hubungan seperti ini jika ditanya apakah mereka berpacaran atau tidak, mungkin jawabannya juga akan "complicated."

Mungkin, hubungan percintaan "complicated" inilah yang secara tidak langsung turut menjadi bidan yang melahirkan rombongan pemuda galau yang suka berteriak-teriak yang kerap disebut emo. Atau mungkin juga hubungan percintaan "complicated" sebagai salah satu faktor dari berseliwerannya lagu-lagu cinta yang mendayu-dayu yang dikritik band Efek Rumah Kaca.

Di tengah semua aspek kehidupan modern yang juga kian rumit, ditambah lagi dengan kehidupan percintaan yang juga tak kalah rumit, jadi apakah pantas jika menyebut generasi kita sekarang ini sebagai generasi "complicated?"

Robin Thicke - Complicated
Minggu, 15 Agustus 2010

Day #14: Everybody Gotta Learn Sometimes

Tadi malam, tanpa sengaja saya kembali menonton salah satu film favorit sepanjang masa, The Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Mengapa tanpa sengaja? Karena saya menontonnya di salah satu televisi lokal ketika saya baru pulang ke kos.

Menonton film panjang di televisi lokal yang harus memenuhi kuota pengiklan di setiap jamnya, sudah pasti harus rela untuk 'digantungkan' setiap beberapa menit. Lagi seru-serunya, tiba-tiba dipotong iklan. Akhirnya aktifitas menonton pun jadi "kentang" atau kena tanggung.

Ok, saya masih maklum dengan keadaan tersebut. Toh kalau ingin menonton tanpa diganggu iklan lebih baik memutar dvd saja. Atau menonton televisi kabel channel film. Tapi malam tadi, saya ingin sedikit bernostalgia. Sudah lama rasanya tidak menonton film panjang di televisi lokal. Seperti kembali di tahun 1999, tulis saya di Twitter tadi.

Film Eternal Sunshine lalu berjalan hingga adegan penutup yang disambut dengan lagu "Everybody Gotta Learn Sometimes" yang dibawakan ulang oleh Beck. Lagu ini lalu mengiringi jalannya credit title. Namun apa yang terjadi tadi, saat lagu ini baru memasuki verse 1, tiba-tiba terpotong begitu saja.Seketika layar berganti oleh sebuah iklan acara tv tersebut dengan menampilkan pembawa acaranya, Fenny Rose.

Ternyata tidak hanya adegan saja yang dipotong semena-mena. Credit title pun juga mendapat perlakuan yang sama. Yang lebih mengesalkan, di credit title itu sedang berputar salah satu lagu yang saya sukai yang kebetulan sudah lama tidak saya dengar.

Jadi untuk mengobati kekesalan saya tadi, saya akan memposting video berikut lagu "Everybody Gotta Learn Sometimes" dari Beck tersebut. Dan lagu ini saya tunjukkan untuk pihak televisi yang bersangkutan yang memang harus belajar bagaimana menayangkan sebuah film panjang dengan baik dan benar.



Beck - Everybody Gotta Learn Sometimes

Day #13: Starlight

Tulisan ini adalah penghormatan saya kepada Chris Dedrick. Mungkin namanya kurang familiar di banyak orang. Walau begitu, ia telah berjasa dalam menciptakan melodi tak lekang jaman melalui paduan vokal yang harmonis dan rancak dari grup sunshine pop, The Free Design.


The Free Design adalah grup vokal asal New York, Amerika Serikat yang aktif berkarir dari pertengahan tahun 60an hingga awal 70an. Sungguh disayangkan, pada saat karir band ini tengah berjalan, nama mereka kurang bergaung dan tenggelam begitu saja di balik nama-nama besar dari grup vokal sejenis di jamannya seperti The Mamas and the Papas.

Bagai permata yang hilang dan tersembunyi di dasar lautan, musik mereka yang indah pada akhirnya mulai dapat pengakuan orang banyak setelah musisi asal Jepang, Cornelius melalui label musiknya merilis ulang dari katalog album The Free Design di tahun 1997. Tidak lama dari situ, label indie pop asal Spanyol, Siesta juga menyertakan beberapa lagu The Free Design dalam beberapa kompilasi rilisannya. Lalu pelan tapi pasti, melodi-melodi hangat dan cerah dari musik The Free Design mulai mengalun riang di telinga banyak orang dalam dua dekade terakhir ini.

Dan Chris Dedrick ialah orang yang bertanggung jawab atas semua keindahan tersebut.

Chris sendiri setelah The Free Design bubar di tahun 1972, menetap di Kanada dan berkarir menjadi komposer untuk musik televisi dan film. Hingga pada tanggal 6 Agustus 2010 lalu di usia 63 tahun, Chris wafat dengan meninggalkan warisan ratusan melodi cantik yang akan terus bersemayam di hati banyak orang.

Selamat jalan Chris Dedrick. Terima kasih untuk semua keindahan yang telah kau ciptakan.

"See the smooth and listen to the night, You can choose a heaven in the night." 
- Starlight by The Free Design


The Free Design - Starlight

Day #12: Cross My Heart

Bangsa Indonesia adalah bangsa tersumpah di seluruh dunia. Maksud saya, kata sumpah selalu dekat dengan kehidupan bangsa ini. Dari Sumpah Palapa, Sumpah Pemuda hingga Sumpah Pocong.

Di percakapan sehari-hari, kita sering sekali berucap sumpah yang biasanya akan diikuti oleh pertanyaan, "Sumpah demi apa?" Ada yang demi orang tua tercinta, demi rumput yang bergoyang atau paling standar, demi Tuhan. Biasanya semakin tinggi derajat yang menjadi jaminan akan sumpahnya, maka semakin bisa dipercaya sumpah tersebut. Jadi sah-sah saja kita tidak mempercayai sumpah seseorang dengan jaminan rumput yang bergoyang. :D

Sumpah adalah janji yang khidmat. Ada yang berkata sumpah lebih memberatkan daripada janji. Tapi menurut saya, keduanya sama saja. Akan sama saja akibatnya jika kita tidak menepati janji dan juga melanggar sumpah. Sama-sama akan menghilangkan kepercayaan orang lain.

Jadi sebenarnya sumpah itu tidak perlu ada jaminan apapun. Tidak perlu bersumpah demi sesuatu atau seseorang. Toh janji pun tidak memerlukan adanya jaminan.

Namun jika memang dirasa perlu membuat orang lebih percaya akan sumpah dan janji kita, sepertinya akan lebih manis rasanya kita mengucapkan idiom "Cross my heart" yang cukup lazim diucapkan dalam percakapan bahasa Inggris. Sayangnya idiom ini belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia.


Menurut sejarah, "Cross my heart" berasal dari tradisi religi umat Katolik yang kerap memberi tanda salib sebelum berdoa. Tanda salib ini untuk mewakili simbol Tritinas dalam ajaran Katolik: Bapa, Putra dan Roh Kudus. Melalui idiom "Cross my heart" berarti kita menyerahkan hati kita untuk Tuhan dan untuk itu kita hanya mengucapkan semua hal yang jujur.

Yah, sebelum tulisan ini berlanjut seperti pelajaran agama Katolik, inti dari idiom "Cross my heart" adalah kejujuran telah diucapkan.

"Cross my heart" juga yang selalu diucapkan oleh Carl Fredricksen di film Up ketika ia berjanji kepada mendiang istrinya Ellie untuk membawanya ke Paradise Fall. Coba bayangkan apa jadinya kalau Carl mengucapkan "Sumpah demi Tuhan?" Terdengarnya tidak lagi romantis.

Karena idom tersebut selalu terdengar manis,  maka melalui tulisan ini, saya akan "Cross my heart" untuk mencari padanan kata "Cross my heart" di dalam bahasa Indonesia. :)

Jumat, 13 Agustus 2010

Day #11: The Like In I Love You

Seperti prinsip jodoh, sebuah lagu (tanpa perlu kita mencarinya) juga akan menemukan sendiri pendengarnya di waktu dan keadaan yang tepat. Bisa saja kita tidak sengaja mendengar sebuah lagu yang kita sukai di tengah supermarket. Atau yang paling umum, kita mendengar lagu yang tiba-tiba kita sukai saat mendengar radio atau saat melihat tayangan iklan di televisi.

Bagi para musisi, prinsip jodoh dan tidak jodoh dengan lagu pun masih berlaku. Terutama jika mereka membawakan ulang sebuah karya yang telah ada sebelumnya. Sering terjadi sebuah lagu malah lebih populer ketika dibawakan ulang oleh musisi atau penyanyi baru daripada ketika dibawakan oleh pengusung aslinya.

Begitu juga yang dialami oleh musisi kawakan Brian Wilson.

Di bulan Agustus ini, pentolan dari grup legendaris The Beach Boys akan kembali merilis album yang berisi interpretasinya terhadap karya komponis George Gershwin. Diantara 12 lagu yang akan ada dalam album yang bertajuk Brian Wilson Reimagines Gershwin ini, ada dua lagu yang merupakan 'kolaborasi' Brian Wilson dan George Gershwin.

Bagaimana bisa George Gershwin yang telah wafat di tahun 1937 berkolaborasi dengan Brian Wilson yang masih hidup? Ternyata bentuk kolaborasi ini adalah Brian Wilson menyelesaikan komposisi Gershwin yang tidak sempat diselesaikan hingga ia wafat. Jadi komposisi yang diciptakan Gershwin di tahun 30an akhirnya setelah puluhan tahun mendapat 'nyawa' untuk kemudian dapat 'hidup' seutuhnya.

Bayangkan jika tidak ada Brian Wilson, maka komposisi yang tidak selesai itu akan terus terpendam di secarik kertas not balok, tidak terdengar dan hanya menjadi memorabilia dari George Gershwin. Entah bagaimana proses perjalanan komposisi tidak selesai ini akhirnya jatuh ke tangan Brian Wilson. Namun satu hal yang pasti, komposisi tersebut telah berjodoh dengan Brian Wilson.

Dan di tangan Brian Wilson, komposisi Gershwin tersebut dirangkai dan diselesaikan dengan sentuhan magis khas dirinya menjadi sebuah balada paling romantis yang saya dengar sejauh ini di tahun 2010.


You reached into my heart 
And found the music of my soul 
The melodies unfold 
For you 

I've never danced before 
Until you asked me 
Then magic lights lit up the floor 

Gliding in a starlit/less sky 
Until we found the inner light 
Now we can duplicate the universe 

The pain in painting 
The muse in music 
The like in I love you 

When you connect the dots 
I see your picture coming through 
The story's always you 

It's more than harmony 
When you sing with me 
It's an entire symphony 

Don't be afraid, love 
We can take it from 
The happy ending 

The great in grateful 
The faith in faithful 
The like in I love you

Brian Wilson - The Like In I Love You
Rabu, 11 Agustus 2010

Day #10: 4'33"


Saya selalu membayangkan, apa jadinya jika kehidupan manusia memiliki soundtrack pribadi yang menyala sepanjang waktu di telinga kita? Setiap kita melakukan hal apapun, selalu ada musik latar yang menyertai. Musik itu juga dapat otomatis mengatur volumenya sendiri, tergantung mood kita dan juga ketika kita sedang melakukan pembicaraan dengan orang lain.

Saya pribadi tidak akan keberatan jika ada musik yang selalu berputar otomatis di telinga seperti itu. Namun, ada satu hal yang sepertinya akan selalu meresahkan saya jika musik 24 jam non stop itu benar ada, yakni akan menganggu saya ketika sedang menulis.

Entah mengapa, saya tidak pernah bisa mendengarkan musik ketika sedang menulis. Cukup aneh ya? Sementara banyak orang yang membutuhkan musik ketika bekerja khususnya dalam menulis.

Mungkin saya tipe orang yang sulit membagi konsentrasi di saat yang bersamaan. Tapi jika memang saya sulit membagi konsentrasi, mengapa banyak hal lain yang bisa saya kerjakan bersamaan dengan mendengarkan musik? Misalnya membaca buku. Untuk kegiatan ini, musik bisa berputar dengan bebas.

Saya masih ingat saat detik-detik terakhir dari tenggat waktu pengumpulan skripsi. Saat itu, saya begitu serius mengetik. Dan sudah pasti, di kamar saya tidak terdengar sedikit pun suara musik. Jika ada yang menyaksikan saya saat itu, pasti akan berpikir betapa seriusnya saya dalam mengerjakan skripsi. :D

Saya menyingkirkan musik tidak hanya saat sedang menulis sesuatu yang berat seperti skripsi saja. Saat saya menulis santai seperti menulis blog ini pun sebisa mungkin tanpa iringan musik. Jika ada pertanyaan, "Lho blog ini kan benang merahnya adalah musik. Bagaimana bisa menulis blog ini jika tidak mendengar lagu?" Untuk blog ini, biasanya saya mendengar terlebih dahulu lagu mana yang akan saya jadikan tema dari tulisan. Dan setelah selesai mendengarkan, baru saya menulis.

Keadaan ideal saya ketika menulis adalah suasana yang tenang, tanpa musik, tanpa banyak suara orang yang berbicara.

Tapi jika saya dipaksa untuk mendengar lagu ketika menulis, maka saya akan memilih lagu 4'33" karya John Cage sebagai musik latar saat saya menulis. Bagi yang belum pernah mendengar karya John Cage ini, silahkan langsung mengunduhnya di bawah ini. Dan jika sudah mendengar lagunya, kalian pasti tahu alasan saya memilih lagu ini sebagai satu-satunya lagu yang sesuai untuk menjadi soundtrack ketika saya sedang menulis. ;)

John Cage - 4'33''

Day #9: Clumsy


Bagi yang sudah cukup lama mengenal saya, pasti akan mengenali sifat saya yang satu ini, yakni ceroboh. Entah mengapa, saya sering sekali mengalami 'kecelakaan domestik', misalnya menyenggol gelas berisi air hingga tumpah, merusak peralatan elektronik atau ketinggalan barang di suatu tempat.

Jika ada seorang yang terkenal ceroboh, biasanya orang itu selalu tergesa-gesa atau istilah lainnya grasak grusuk. Namun saya sendiri merasa bukan sebagai orang yang selalu tergesa-gesa. Bisa dikatakan malah saya orang yang amat teramat santai. Mungkin saya malah terlihat lambat bagi sebagian orang.

Jadi itulah anehnya. Lambat tapi ceroboh, kata seorang teman sore tadi yang juga mengalami permasalahan yang sama dengan saya. Mengapa dari gerak gerik yang tidak tergesa-gesa namun kecerobohan itu selalu datang?

Entahlah, kalau bisa menemukan jawabannya pasti saya dan juga teman saya tersebut akan merasa sangat senang. Karena kebiasaan ceroboh ini walau bisa mengundang tawa bagi sebagian orang, namun bagi pelakunya sebenarnya cukup mengesalkan. Karena di setiap tindak laku, kita berusaha sekuat tenaga untuk tidak kembali berbuat ceroboh. Namun pada prosesnya, hasil akhir sering tidak sesuai dengan niat baik tersebut.

Lalu kecerobohan kembali terulang dan terulang.

Our Lady Peace - Clumsy

Day #8: Hujan

Hujan adalah salah satu keadaan alam di dunia ini yang selalu lekat kaitannya dengan lagu. Sering kita mendengar, "Lagu A paling enak didengar ketika hujan turun, sambil menyeruput kopi hangat." Atau, "Denger lagu B di tengah hujan, rasanya adem."

Mengenai latar hujan dan kaitannya dengan lagu atau album musik, saya pernah membahasnya disini.

Hujan juga sering menjadi inspirasi bagi para musisi dalam menciptakan karya-karya mereka. Contoh paling mudah, banyak sekali lagu yang menyertakan kata hujan di judul. Dari yang menyalahkan hujan sebagai biang keladi (Blame It On The Rain - Milli Vanilli) hingga hujan di bulan November yang sangat populer itu (November Rain - Guns N' Roses)

Namun dari semua lagu hebat mengenai hujan ataupun yang cocok dinikmati di kala hujan, hingga saat ini rasanya tidak ada yang dapat mengalahkan kesederhanaan lagu "Hujan" ciptaan Ibu Sud, salah satu seniman besar Indonesia yang mendedikasikan dirinya sebagai pencipta lagu khusus anak-anak.

Ibu Sud menciptakan lagu "Hujan" setelah mendapati genting di rumah sewaannya di bilangan jalan Kramat, Jakarta telah bocor. Dari kejadian yang sangat umum itu, terciptalah untaian nada dan lirik yang bersahaja yang mampu bertahan hingga puluhan tahun hingga kini.

Lagu ini tidak memiliki tendensi apapun selain ingin merayakan hujan dengan suka cita. Hujan dalam lagu ini walaupun pada sejarahnya telah membuat genting rumah penciptanya bocor, namun akan selalu dikenang sebagai hujan paling baik hati untuk rakyat Indonesia. Karena telah menghibur jutaan anak Indonesia yang menyanyikannya.

Hujan ciptaan Saridjah Niung Bintang Soedibio



I
Tik tik tik! Bunyi hujan diatas genting
Airnya turun tidak terkira
Cobalah tengok dahan dan ranting
Pohon dan kebun basah semua.

II
Tik tik tik! Bunyi hujan bagai bernyanyi
Saya dengarkan tidaklah jemu
Kebun dan jalan semua sunyi
Tidaklah seorang berani lalu.

III
Tik tik tik! Hujan turun dalam serokan
Tempatnya itik berenang-renang
Bersenda gurau menyelam-nyelam
Karena hujan, bersenang-senang



Hujan ciptaan Saridjah Niung Bintang Soedibio

Selasa, 10 Agustus 2010

Day #7: A House Is Not a Home

Di bahasa Inggris, kata Home dan House adalah dua kata yang berbeda makna. Namun di bahasa Indonesia, untuk mewakili dua makna yang berbeda itu, tetap menggunakan satu kata: rumah. Saya pernah bertanya di Twitter mengenai hal ini. Apakah ada kata di bahasa Indonesia yang bisa mewakili makna dari kata Home di bahasa Inggris?

Beberapa teman merespon tweet saya tersebut. Ada satu respon yang rasanya cukup masuk akal, walau tidak 100 persen setuju. Teman saya berkata, tempat tinggal mungkin bisa untuk mewakili makna dari kata Home.

Salah satu quotes paling populer yang menyinggung kata Home ialah, "Home is where the heart is." Maksud quotes ini sudah cukup jelas, bahwa rumah sesungguhnya adalah tempat atau seseorang yang paling kamu cintai.


Ya, kata Home memang tidak selalu menyatakan sebuah ruang. Home lebih bersifat abstrak. Tidak selalu berwujud fisik. Home adalah kata yang menggambarkan dimana diri kita akan selalu kembali pulang.

Jadi, jika Home lekat dengan kata kepulangan, mungkin kata Home di bahasa Indonesia bisa diwakili oleh dua kata ini: kampung halaman.

Kata kampung terkadang berkonotasi negatif. Dan kata halaman juga bermakna ganda. Namun jika dua kata tesebut digabungkan, akan muncul sebuah rasa yang di dalamnya bertautan antara kerinduan, kecintaan dan kenyamanan yang semua itu berpadu dengan mesra.

Dionne Warwick - A House Is Not a Home.

Day #6 They Fell For Words Like Love


Kata itu seperti sebuah melodi tanpa lagu. Kata itu bisa menjadi senjata yang tenang untuk perang yang sunyi. Kata itu adalah bibit terbaik bagi apa yang nantinya akan disemai oleh sepasang manusia.

Hangman's Beautiful Daughters - They Fell For Words Like Love
Jumat, 06 Agustus 2010

Day #5: Manhattan Skyline


Lagu "Manhattan Skyline" adalah salah satu lagu perpisahan favorit saya. Walau perpisahan bukanlah kata favorit bagi saya dan pasti bagi banyak orang.

"Manhattan Skyline" pertama kali dipopulerkan oleh grup A-Ha. Lalu didaur ulang oleh Kings of Convenience menjadi sebuah ode perpisahan yang begitu mengharukan.

Dan lagu ini sengaja saya putar sebagai lagu terakhir pada siaran Popcircle semalam yang juga merupakan siaran terakhir dari teman saya, Risa Saraswati yang pada hari minggu ini akan meninggalkan Indonesia untuk mengikuti suaminya yang tengah mengambil pendidikan paska sarjana di New Zealand.

Risa telah menjadi penyiar Popcircle selama dua tahun, semenjak acara radio ini mengudara di Rase FM awal tahun 2008. Saya sendiri menjadi produser Popcircle semenjak kuartal terakhir tahun 2008.

Pada prosesnya, hubungan saya dengan Risa lalu berkembang, tidak hanya sebagai produser dan penyiar saja, namun juga sebagai tim di balik proyek solonya, Sarasvati. Tidak hanya saya, penyiar Popcircle lainnya, Syauqy Lukman juga turut menjadi manager pribadi dari Sarasvati.

Kini, semua kegiatan Risa baik itu siaran dan juga tampil di panggung dengan Sarasvati terpaksa harus dihentikan karena kepergiannya ke luar Indonesia. Entah kapan Risa akan kembali ke Indonesia.

Perpisahan memang akan selalu terasa getir. Namun saya selalu ingat pada sebuah kalimat mengenai perpisahan, "Janganlah kau merasa sedih karena perpisahan, karena diseberang sana, seseorang telah melambaikan tangan menantinya."

Kamis, 05 Agustus 2010

Day #4: We Have All The Time In The World


Sering kita mendengar kalimat-kalimat ini, "Maaf, saya tidak punya waktu." atau "Andaikan saya memiliki waktu yang lebih banyak."

Banyak anggapan bahwa waktu adalah sesuatu yang mahal. Begitu sulit dicari, begitu sulit untuk mendapatkannya secara berlimpah. Padahal, waktu itu merupakan kekayaan diri dengan jumlah berlimpah yang sebenarnya sudah dimiliki semua orang. Waktu adalah harta karun diri yang nilainya jauh lebih berharga daripada uang.

Maka dari itu, saya tidak setuju ungkapan waktu adalah uang. Karena kita tidak bisa menukar waktu dengan uang. Waktu bisa jadi adalah uang, namun yang pasti uang bukanlah sebuah waktu.


Saya juga tidak setuju istilah menunda waktu. Waktu itu akan terus berjalan tak terhentikan. Jika menunda berarti kita menghentikan waktu. Rasanya membuang waktu itu lebih tepat dari istilah menunda waktu. Ketika seseorang tidak menggunakan harta waktu dengan sebagaimana mestinya, berarti ia membuang hartanya dengan sia-sia.

Kita sang pemilik waktu akan terus menggunakan harta tak ternilai tersebut dengan caranya masing-masing. Cara itu merupakan pilihan pribadi. Dan pilihan itulah yang menjadi pekerjaan rumah yang akan selalu kita hadapi. 

Waktu tidaklah membatasi hidup kita. Namun pilihan hidup kita yang akan terus membatasi waktu. Kita memiliki semua waktu yang ada di dunia, maka jangan sampai kita terus membuangnya.

Rabu, 04 Agustus 2010

Day #3: I Could Be Dreaming



Di jaman ketika musik telah menjadi sebuah 'agama' tersendiri bagi banyak orang, istilah naik haji juga tidak hanya dimiliki oleh pemeluk agama Islam saja. Naik haji bagi penggemar musik adalah ketika seseorang telah berhasil menonton langsung band pujaannya. Band pujaan yang selama ini semua rilisannya didengarkan secara religius dan setiap lagunya diresapi secara khusuk layaknya mengamalkan ayat-ayat kitab suci.

Di hari ini, kurang dari 24 jam dari saya menulis tulisan ini, saya akan mengikuti ibadah haji indie pop dengan menonton band kecintaan saya selama ini, Belle and Sebastian. Dan betapa beruntungnya saya, ibadah haji ini memiliki muatan spiritual yang berlipat ganda pahalanya karena kebetulan band saya, Ballads of the Cliche berkesempatan menjadi salah satu band pembuka konser Belle and Sebastian di Indonesia. 

Mungkin saya berlebihan, tapi diberkahi semua kesempatan ini rasanya seperti sebuah mimpi yang terlalu indah untuk menjadi nyata. Mengikuti ibadah haji dengan menyimak siraman rohani dari Belle and Sebastian langsung di depan mata saja sudah merupakan cita-cita mulia yang dari dulu selalu dinantikan dengan setia. Dan kini, setelah cita-cita itu akan terwujud, datang lagi sebuah kenyataan dimana apa yang saya dapat melebihi pengharapan selama ini.

Bagi Ballads of the Cliche sendiri, Belle and Sebastian juga menjadi salah satu band panutan kami. Hampir semua personil di band ini memiliki kadar fanatisme yang cukup berlebih sebagai penggemar mereka. Namun menjadi pembuka konser Belle and Sebastian sungguh tidak pernah terlintas di benak kami sebelumnya. Yang selalu kami impikan hanyalah dapat menonton konser mereka bersama-sama. Itu sudah cukup bagi kami semua.

Jadi ketika kami mendapat tawaran untuk menjadi salah satu band pembuka dari konser Belle and Sebastian reaksi pertama kami seperti setengah tidak percaya. Selain alasan bahwa kesempatan ini melebihi pengharapan selama ini, kami juga menyadari bahwa Ballads of the Cliche bukanlah band misalnya seperti White Shoes and the Couples Company atau Efek Rumah Kaca yang walaupun berkarir di industri musik non mainstream namun memiliki basis penggemar yang kuat dan besar hingga layak untuk menjadi pembuka konser dari band internasional dalam skala event yang bisa terbilang cukup besar seperti ini.

Bukannya merendah untuk meninggikan mutu, namun apa yang saya katakan di atas benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada. Kami sadar betul posisi Ballads of the Cliche selama ini berada di mana. Bermain band bagi saya dan teman-teman di Ballads of the Cliche masih dalam tahap bersenang-senang di kala kepenatan pekerjaan sehari-hari. 

Karena itu juga dengan terpilihnya kami sebagai salah satu band pembuka konser Belle and Sebastian, kami tidak menganggapnya sebagai beban yang malah akan menyingkirkan kesenangan itu sendiri. Tapi kami lebih menganggap ini sebagai berkah yang harus disyukuri dan sepatutnya dirayakan dengan penuh kebahagiaan di panggung nanti.

Yah, mungkin saya dan teman-teman yang berada di Ballads of the Cliche hanyalah penggemar-penggemar Belle and Sebastian yang beruntung. Atau mungkin saja kami saat ini tengah bermimpi? Jika hidup ini ada dalam skenario film Inception, jadi selama totem masih berputar, mimpi ini pun masih terus kami nikmati setiap detiknya.

Day #2: Private Eyes

Pada dasarnya manusia selalu menyukai konsep kehidupan pararel. Dalam kehidupan pararel ini, manusia seperti dihidupkan kembali menjadi sosok baru dalam sebuah dunia lain. Dunia pararel juga dapat menjadi rumah bagi pelarian manusia yang tidak puas ataupun tidak bahagia di dalam dunia asalnya.

Salah satu contoh kehidupan pararel yang paling tua yang dialami manusia adalah mimpi. Selain itu, dalam perkembangan dunia sekarang ini, internet juga berakhir sebagai dunia pararel bagi manusia modern.

Internet menyediakan kita sebuah kehidupan lain dengan beragam pilihan. Ada yang memilih internet sebagai media pelarian dari kehidupan nyata, ada yang menggunakannya sebagai jaringan untuk memperluas pertemanan dan masih banyak lagi.

Satu hal yang kerap terjadi di dalam dunia internet, setiap individu dapat menjadi pusat perhatian khayalak ramai dimana setiap mata akan mengawasi semua gerak-gerik kita yang sialnya juga sangat mudah untuk ditelusuri jika berminat.


Internet meruntuhkan semua paradigma yang menyangkut arti kepopuleran yang selama ini hanya menjadi milik selebriti, tokoh dunia atau musisi. Internet membuat semua orang dapat menjadi selebriti dalam dunianya sendiri. Dan terkadang, walau tak terlihat secara gamblang (karena beberapa ada di relung hati terdalam) manusia menyukai jika dirinya diperhatikan. Terlebih diperhatikan oleh orang banyak.

Maka dari itu internet adalah medium yang tepat untuk mewujudkan atau menampung sifat haus akan perhatian tersebut. Secara sadar maupun tidak sadar, banyak manusia modern menyerahkan diri mereka seutuhnya kepada internet. Sehingga tak ada lagi ruang privat yang tersisa. Sebenarnya hal ini merupakan pilihan. Dan kita bisa saja memilih untuk menghindar dari pengeksploitasian ruang privat tersebut.

Namun banyak juga yang dengan sadar dan sepenuh hati  memilih untuk membiarkan internet menggerogoti sedikit demi sedikit ruang-ruang diri yang mungkin tidak sepatutnya diketahui publik.

Bisa jadi internet lebih kejam daripada ibu tiri dan pergerakannya lebih lincah daripada badan intelejen paling mumpuni di seluruh dunia. Seperti kutipan lirik lagu dari Hall and Oates ini, "They’re watching you. They see your every move."


Senin, 02 Agustus 2010

Day #1: (They Long to Be) Close to You

“Why do birds suddenly appear everytime you are near?" adalah salah satu kalimat pembuka lagu paling populer dalam sejarah musik pop dunia. Kalimat pertanyaan ini langsung menarik perhatian di detik-detik perdana dalam lagu.

Begitu meriahnya perasaan cinta dalam lagu ini, diilustrasikan dengan burung-burung yang menyambut gembira rasa yang telah datang. Seakan-seakan seluruh alam semesta merestui apa yang sedang dirasakan oleh dua orang yang sedang dibuai asmara.

Ada kenyamanan yang tak ternilai harganya ketika berada dekat dengan seseorang yang kita cintai. Dan semua elemen rasa yang menakjubkan itu dengan cerdas dapat diterjemahkan hanya melalui kalimat pertanyaan yang menjadi pengantar di lagu ini.

Lirik memikat karya Hal David ini dikawinkan dengan melodi cantik karya Burt Bacharach, hasilnya adalah kesempurnaan. Walau begitu, perjalanan lagu ini terbilang cukup panjang sebelum menggapai telinga banyak orang.

"(They Long to Be) Close to You" awalnya dibawakan dan direkam oleh Richard Chamberlain sebagai b-side dari singelnya "Blue Guitar" yang dirilis di tahun 1963. Dan seperti umumnya lagu b-side, lagu ini pun tak dihiraukan untuk didengar. Begitu pun ketika Dionne Warwick merekam lagu ini dalam album ketiganya, lagi-lagi nasibnya hanya menjadi b-side.

Sampai akhirnya di tahun 1970, duo The Carpenters merekam lagu ini kembali untuk album kedua mereka. Dan sejarah berbicara, lagu ini memang berjodoh dengan suara emas Karen Carpenters. Melalui suaranya yang mengharu biru, "(They Long To Be) Close To You" menjadi sebuah kidung cinta sepanjang masa yang siap untuk menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya.

Kebetulan hari sabtu kemarin, saya baru menyaksikan teman satu band saya, Ninatika Trimurti menyanyikan lagu ini dengan syahdu di acara resepsi pernikahannya hanya dengan iringan piano yang dimainkannya sendiri. Perasaan yang indah tersebut lalu digenapkan dengan pemandangan saat itu dimana suami Nina duduk mendampinginya tepat di sebelahnya dan memandangi Nina yang tengah bernyanyi. Dan di situ, jawaban dari pertanyaan "Why do birds suddenly appear everytime you are near?" terangkai dengan sangat nyata.

Richard Chamberlain - (They Long To Be) Close To You