Ruang Jeda di Poetry of Space

Akhir tahun 2014 lalu saya terlibat dalam sebuah proyek kesenian yang diinisiasi sekaligus dikuratori oleh kawan baik saya dari Jogja, Mira Asriningtyas. Proyek ini melibatkan enam orang seniman di lima lokasi di sepanjang jalan Sudirman dimana setiap seniman mengintervensi ruang-ruang publik di sana. Tugas bagi para seniman: memberi sisi puitis di salah satu jalanan tersibuk di dalam kota yang riuh ini.



Dalam proyek ini, saya kembali berkolaborasi dengan pasangan saya, Nastasha Abigail di bawah nama Pasangan Baru. Kami berdua sebenarnya tidak berkantor di jalan Sudirman, namun kami sering melewati beberapa titik di kawasan tersebut dengan berjalan kaki, khususnya ketika sedang menggunakan sarana bus TransJakarta. Karena itu kami kurang lebih memahami keadaan di Sudirman yang menjadi ruang kami kali ini untuk berkreasi.

Setelah proses diskusi yang cukup panjang, akhirnya kami berdua memutuskan untuk membuat sebuah ruang jeda dimana orang dapat 'beristirahat' sejenak dari hingar bingar jalan Sudirman yang sibuk.

Alasan kami ingin membuat sebuah ruang jeda karena manusia Jakarta memiliki tendensi untuk selalu ingin cepat yang mengakibatkan manusianya selalu dibuat seakan-akan diburu waktu. Misalnya dari hal-hal simpel: ketika lampu hijau baru nyala, klakson mobil pasti sudah saling berbunyi walaupun mobil di depannya sebenarnya juga sudah menginjak gas. Atau jika kita menyebrang jalan, banyak sekali kendaraan yang bukannya memelankan kendaraannya malah semakin ngebut seperti tidak mau memberikan waktunya beberapa detik untuk para penyeberang jalan. Atau untuk penumpang Transjak yang mau naik bus yang sering tidak membiarkan penumpang yang mau turun untuk keluar bus terlebih dahulu.

Semua perilaku tersebut membuat kesan manusia Jakarta itu sangat tidak sabar, selalu ingin buru-buru.

Karena itu melalui Ruang Jeda kami ingin mengajak manusia Jakarta khususnya di Jalan Sudirman yang selalu hiruk pikuk terutama di jam-jam pergi dan pulang kantor untuk lebih rileks sekaligus menyadarkan mereka bahwa waktu itu ada bukan selalu untuk merongrong. Kami ingin manusia Jakarta lebih menikmati waktu yang ada setiap detiknya dan bukan untuk segera ingin melaluinya dengan cepat.



Kami memilih dua buah telepon umum yang terbengkalai yang terletak persis di ujung jembatan halte Benhil sebagai ruang jeda. Kami menempelkan penanda di luar telepon umum tersebut serta menempelkan tulisan petunjuk penggunaan. Di dalam telepon umum tersebut, kami menaruh sebuah mp3 player dan headphone yang berisi rangkaian lagu yang sudah saya susun yang disertai rekaman suara Abigail yang membacakan narasi meditatif ala seorang psikiater. :D


Karena ada dua booth telepon, jadi saya membuat dua kompilasi lagu yang berbeda susunan lagunya. Masing-masih memiliki durasi yang sama 12 menit karena mengikuti narasi dari Abigail.


Kami memilih jam pulang kantor mulai pukul 4 sore hingga 7 malam sebagai waktu beroperasinya Ruang Jeda. Karena terletak di sisi ujung jembatan, setiap orang yang akan menaiki jembatan atau baru turun dari jembatan pasti akan melalui Ruang Jeda ini. Namun dari sekian banyak manusia Sudirman yang lalu lalang di sekitar Ruang Jeda, hanya sebagian kecil saja yang mau mampir dan mencoba untuk mendengarkan playlist yang sudah kami sediakan.

Kebanyakan dari mereka mengaku sedang diburu waktu, atau mau mengejar bis untuk balik ke rumahnya. Persis seperti apa yang sudah kami perkirakan sebelumnya yang juga menjadi dasar kami untuk membuat Ruang Jeda ini.


Di saat kami berdua merasa sangat sulit untuk membujuk orang untuk mampir, kami akhirnya memutuskan untuk mencoba sendiri untuk masuk ke bilik Ruang Jeda untuk lalu berdiam diri sejenak sambil berdiri selama 12 menit seraya mendengarkan kompilasi lagu yang tersedia. Jadinya aksi ini seperti sebuah performance art dari kami si pembuat karya. Dan baru kali ini saya melakukan aksi seperti itu. Agak malu juga sih tapi saya berusaha cuek sambil berusaha tidak melihat ke arah luar dengan memusatkan mata ke mp3 player saja. :D


Setelah usai melalukan aksi tadi, perlahan namun pasti mulai ada orang yang mampir ke Ruang Jeda.



Ada juga beberapa orang yang mau mencoba setelah dipersilahkan oleh Abigail yang bertugas membujuk orang-orang untuk mampir. Kebanyakan dari mereka memang terlihat takut, sungkan atau malu untuk mencoba walaupun pandangan matanya terlihat penasaran. Walau begitu ada juga segelintir orang yang berani mencoba, tanpa diminta.





Akhirnya sekitar pukul 7 malam, kami menyudahi instalasi Ruang Jeda ini dengan perasaan yang campur aduk terhadap Jakarta dan manusia-manusianya.




 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Day #11: The Like In I Love You

Lampau: Ulasan Album Centralismo - SORE

Enam Lagu Yang Mendefinisikan Paloh Pop