Lampau: Wawancara Efek Rumah Kaca (2007)

Saya sedang membongkar hardisk dan menemukan banyak file lama dari beberapa pekerjaan saya terdahulu. Salah satunya adalah kumpulan wawancara ketika saya bekerja di majalah Jeune dari tahun 2007-2008.

Karena itu secara berkala saya akan memuat ulang beberapa wawancara tersebut pada blog ini dalam rubrik Lampau. Beberapa tulisan dari blog saya terdahulu di Multiply, yang beberapa sudah saya muat ulang dalam blog ini juga masuk dalam rubrik Lampau.

Kali ini saya memuat ulang wawancara saya dengan Efek Rumah Kaca yang berlangsung di bulan September 2007. Artikelnya terbit sebulan kemudian pada edisi Jeune Magazine no 21, bulan Oktober 2007.

Saya ingat sewaktu rapat redaksi, saya mengajukan nama Efek Rumah Kaca untuk menjadi feature atau wawancara panjang. Feature atau wawancara panjang menjadi rubrik pertama yang saya usulkan ketika baru bekerja di majalah Jeune. Sebelumnya Jeune selalu mengulas band dalam porsi kecil (satu halaman ada empat band). Dan Efek Rumah Kaca menjadi band pertama yang saya ajukan untuk rubrik baru tersebut.

Waktu itu reaksi pimpinan redaksi saya kira-kira seperti ini, " Hah? Band apaan tuh?" Lalu saya menjawab, "Pokoknya band bagus ini. Percaya deh. Bakal naik nantinya". Saat itu nama Efek Rumah Kaca baru bergaung di segelintir kalangan. Khususnya di kalangan musisi. Album debut mereka baru dirilis namun saat itu mereka belum melakukan kegiatan promo yang gencar.

Dan pada akhirnya, prediksi saya benar. Dalam tujuh tahun, Efek Rumah Kaca menjelma sebagai salah satu band besar di scene independent Indonesia. Dan bahkan di tahun lalu, Efek Rumah Kaca bermutasi menjadi Pandai Besi yang debut albumnya banyak menuai pujian di 2013.

Lucu juga ketika baca wawancara ini kembali. Banyak jawaban yang masih relevan hingga kini. Walau ada juga jawaban Cholil yang ternyata meleset dari dugaannya jika dilihat kenyataan yang terjadi sekarang ini.

Selamat membaca.



Sajian musik pop Indonesia yang tidak biasa dari band yang tidak malu mengakui rumpun mereka yang melayu.

Efek Rumah Kaca bukanlah sebuah band baru yang sedang latah menyuarakan isu global warming yang saat ini tengah menjadi primadona di masyarakat. Efek Rumah Kaca sudah terbentuk dari tahun 2001, namun album debut mereka memang baru dirilis pada tahun 2007 ini, tepatnya pada bulan September yang lalu.

Semua ini berawal dari Cholil, yang telah banyak menulis lagu di kamarnya semenjak tahun 1998. Saat itu ia sering berbagi ide dan gagasan mengenai musik dengan salah seorang teman SMAnya yang bernama Adrian. Lalu keduanya sepakat untuk bermain band bersama. Pada kelanjutannya, Cholil dan Adrian bertemu tiga orang temannya lagi, yakni Akbar, Hendra dan Sita dan jadilah formasi baru dengan lima orang personil. Disaat semangat untuk membangun sebuah band semakin berkobar, Hendra dan Sita mengundurkan diri karena alasan pribadi. Jadi tinggallah Cholil (vokal/gitar), Adrian (bass) dan Akbar (drum). Ketiganya melanjutkan mimpi-mimpi mereka yang telah dirajut sebelumnya, dan terbentuklah Efek Rumah Kaca.

Pada suatu sore di awal bulan September 2007, saya berkesempatan untuk menemui mereka bertiga di pelataran toko musik Hey Folks di bilangan Mayestik, Jakarta. Sore itu saya datang sedikit terlambat dari jadwal yang telah disepakati. Sesampainya di sana, suasananya cukup ramai oleh orang-orang yang tengah bersantap atau hanya sekedar duduk dan bercengkrama menghabiskan sore.

Saya yang selama ini baru mendengar Efek Rumah Kaca melalui kompilasi Paviliun Records dan belum pernah menonton penampilan langsung mereka, mengalami sedikit kesulitan untuk menemukan sosok mereka disana. Untung ada teman saya, Ichsan –gitaris dari kelompok musik D’Zeek - yang memang mengenal secara personal dengan para personil Efek Rumah Kaca. Saya lalu bertanya kepadanya, apakah personil Efek Rumah Kaca telah datang atau tidak. Kemudian Ichsan menunjuk kepada dua orang yang tengah duduk di pojok. Mereka berdua terlihat sedang bercakap-cakap sembari menghabiskan minumannya masing-masing. Saya segera menghampiri dan menyalami mereka sambil mengenalkan diri saya.

Orang pertama yang saya salami adalah Akbar, seorang pemuda berkulit putih yang rajin tersenyum, berperawakan tinggi dengan kaca mata berbingkai hitam yang menghiasi wajahnya. Selain bermain drum di Efek Rumah Kaca, Akbar juga menjadi session drummer yang biasa tampil reguler di beberapa cafe maupun hotel berbintang. Lalu orang kedua yang saya salami adalah Adrian yang tampak pemalu, dan tak banyak bicara selama proses interview. Adrian berkulit sawo matang, berbadan agak gempal disertai oleh mata yang besar namun tampak sayu. Pekerjaan sehari-harinya selain bermusik adalah teknisi kalibrasi di sebuah laboratorium. Adrian juga satu-satunya personil yang telah melepaskan masa lajangnya.

Saat saya sedang bertanya kepada mereka tentang keberadaan satu orang lagi personil dari Efek Rumah Kaca, lalu sekonyong-konyong muncullah Cholil. Diantara ketiganya mungkin Cholil yang paling tidak tampak sebagai anak band. Mungkin penampilannya lebih cocok sebagai aktivis LSM – dan memang kebetulan ia juga bekerja di sebuah LSM, walaupun sebagai akuntan. Cholil berkulit sawo matang, bertubuh kurus dengan ukuran badan yang tidak begitu tinggi.

Karena saat itu senja semakin dekat, jadi saya memutuskan untuk mengadakan sesi foto terlebih dahulu, mumpung langit belum terlalu gelap. Saat Indro, fotografer Jeune menyiapkan peralatannya, mereka bertiga juga menyiapkan kostum khusus. Menurut Cholil, mereka sebelumnya sempat kesulitan untuk menentukan kostum apa yang cocok dengan musik mereka. Lalu karena menurutnya, gaya berbusana mereka bertiga sudah tidak bisa ditolong lagi, akhirnya mereka sepakat hanya memakai kaus saja saat sedang tampil atau sedang melakukan sesi foto untuk media. Namun kaus yang mereka pakai bukan sembarang kaus. Jika ada kesempatan untuk tampil di publik, mereka akan selalu memakai kaus dengan tema subkultur atau kaus dengan statement-statement tertentu.  

Seperti yang dikenakan oleh mereka sore itu. Cholil memakai kaus berwarna putih dengan lambang yang menyerupai (atau parodi) dari salah satu merk clothing dari Bandung yang terkenal. Lambang tersebut milik Video Battle, sebuah komunitas kolektif dari Jogjakarta yang banyak bersinggungan dengan video art atau juga video pendek. Sedangkan Adrian memakai kaus berwarna biru yang bergambar tokoh pergerakan Indonesia tahun 60an, Soe Hok Gie. Dan Akbar memakai kaus berwarna merah yang bertuliskan Komik Chaour, sebuah gerakan komik independent dari IKJ. Setelah sesi foto berakhir, lalu kami memulai perbincangan dengan ditemani beberapa cangkir teh manis hangat, teh botol dingin, dan cheese burger yang baru saja diangkat dari tempat pemanggangan.

Dari awal terbentuk di tahun 2001, kalian sudah berganti nama band sebanyak tiga kali. Mengapa bisa sesering itu?
Akbar : Dulu padahal sudah yakin dengan satu nama.
Cholil : Awalnya namanya Hush, saat itu masih berlima. Terus tinggal bertiga, ganti nama menjadi Superego. Ternyata di Jogja ada band yang namanya Superego. Sebenarnya kami nggak kenal juga sama band itu. Tapi karena kami masih baru, nggak kenal scene juga, dan mereka katanya sudah lama main, akhirnya kami yang ngalah dan ganti nama. Padahal sudah cocok tuh dengan namanya. Karena di awal Efek Rumah Kaca terbentuk, lagunya kebanyakan bertema psikologis. Seperti ada lagu yang judulnya Amidala, yang sekarang nggak dimasukin ke album. Amidala itu kan saraf di otak yang mengeluarkan rasa marah. Lalu kelanjutannya karena mau manggung kami belum ada nama, akhirnya Bin, manager kami mengusulkan nama Efek Rumah Kaca yang diambil dari salah satu judul lagu kami. Waktu itu tahun 2004. Isu global warming belum ‘seksi’ banget kayak sekarang.

Lagu itu sendiri memang bercerita mengenai global warming?
Cholil : Iya, banyak bercerita mengenai pola hidup yang berantakan. Karena saat gue buat lagu itu, gue baru aja baca buku tentang global warming. Lingkungan hidup mulai nggak jelas, suhu mulai berubah, musim-musim sudah mulai kacau.

Orang-orang yang belum tahu kalian, mungkin akan mengira kalian menggunakan nama ini gara-gara isu global warming yang saat ini sedang mencuat. Kalau menurut kalian, kampanye global warming yang banyak dilakukan oleh para musisi ada pengaruhnya tidak? Atau hanya sekedar ikut-ikutan tren saja?
Cholil : Kalau menurut gue, analoginya hampir sama dengan bulan puasa. Semua artis pakai kerudung. Industrinya yang membentuk global warming bisa dijual. Akhirnya jadi suatu tren. Jadi ketika tren itu sudah hilang, tinggal menunggu waktu saja, apakah mereka masih mendukung terus global warming atau tidak, apakah mereka tetap berkampanye atau tidak.

Kalau soal influence, musik apa saja yang kalian dengarkan yang turut mempengaruhi terciptanya lagu-lagu Efek Rumah Kaca?
Cholil : Kalau Adrian suka Stone Temple Pilots dan Sting. Kalo gue pengaruh progresif dari John Anderson, Yess tapi yang pelan-pelan. Genesis tapi yang nggak terlalu ribet. Terus gue juga suka Bjork dan Radiohead.

Kalau ada yang berpendapat bahwa Efek Rumah Kaca hanyalah band-band pada umumnya yang terpengaruh Radiohead, apa pendapat kalian?
Cholil : Gue sih nggak apa-apa. Tapi lebih arif lagi kalo mereka mendengarkan lagu kami dulu. Kan eksekusinya kami sangat beda. Karena kami tuh sangat melayu.

Melayu dilihat dari segi apa?
Cholil : Dari notasi, ada beberapa yang gayanya progresif Indonesia tahun 70an, seperti Gang Pegangsaan, Chrisye tahun 70an. Kalau image Radiohead memang nggak bisa hilang karena tarikan vokal gue.

Untuk Cholil, dari pertama bermain band memang sudah menyanyi?
Akbar : Cholil dari dulu memang nyanyi. Maenin Dream Theater lho!(tertawa)
Cholil : Dulu gue sering ikut festival dan terakhir-terakhir gue menyesal. Karena ternyata gue bisa ngakalin festival. Kalo elo mau ikut festival band, lihat aja jurinya siapa, jurinya senengnya musik apa, lalu buat deh musik yang jurinya senengin. Elo akan juara. Dan itu berhasil. Berapa kali gue juara dengan cara itu. Festival band itu bisa diakalin, gue jadi males. Karena menurut gue musik bukan buat perlombaan. Tapi itu semua gue jadikan proses aja buat gue.

Sekarang berbicara lirik. Saya tertarik pada salah satu kalimat di lagu “Melankolia” “Murung itu sungguh indah. Melambatkan butir darah.” Apa maksudnya?
Cholil : Gue sih ngerasa waktu itu ketika lagi sedih karena bokap meninggal, tapi gue nikmatin aja kesedihannya. Karena mau sesedih apapun, bokap gue juga nggak bisa balik lagi. Tapi lagu itu nggak eksplisit banget tentang bokap gue. Supaya bisa dinikmati banyak orang dan agar temanya nggak tematik banget, akhirnya gue buat liriknya yang agak bersayap. Cuma tema kesedihan aja yang ditampilkan.

Menurut saya kalian adalah satu dari sedikit band Indonesia saat ini yang mempunyai lirik bahasa Indonesia yang baik.
Cholil : Memang kami pengen banget ngajak musisi-musisi Indonesia khususnya yang diluar label-label besar, agar membuat lirik bahasa Indonesia yang baik. Kalau di label besar kan agak susah karena ada tekanan industri, dsb. Kalau yang di indie banyak yang bagus secara musikalitas tapi mereka nggak mau eksplor di lirik. Jadi mungkin ada peran kita juga sebagai musisi indie yang membuat masyarakat juga gampang ketangkep oleh musik pop Indonesia dengan lirik-lirik murahan. Karena mau gimana lagi, yang musiknya bagus nggak pernah keluarin lirik Indonesia. Jadi nggak deket sama masyarakat bawah yang notabene adalah pembeli terbesar industri musik yang kebetulan belum semuanya bisa menerima lirik berbahasa Inggris. Jadi kampanyenya sekarang : marilah musisi-musisi Indonesia yang berbakat baik di major dan khususnya yang di indie, agar lebih mengeksplor lirik Indonesia. Kita juga nggak bisa nyalahin label gitu aja, karena kita juga nggak berusaha mendekatkan diri ke masyarakat Indonesia pada umumnya.

Jadi ada misi kalian untuk memberikan edukasi melalui album ini?
Cholil : Sebenarnya kami hanya berusaha untuk membuat musik yang enak dengan lirik yang bisa educate atau bisa memberi alternatif lirik baik itu dalam scope mainstream maupun indie. Di indie sendiri sebenarnya sudah banyak penulis lirik bahasa Indonesia yang bagus, seperti Arian Seringai, Jimi The Upstairs dan juga Bin C’mon Lennon. Tinggal musisi yang lain aja mau berusaha atau nggak.  Soalnya banyak juga fenomena misalnya orang-orang kantoran yang pada nyanyi lagu Radja, tapi pas ditelaah lagi ternyata mereka baru menyadari bahwa liriknya ternyata ancur banget (tertawa) Tapi mau gimana lagi melodinya sudah terlanjur terekam di otak.

Apakah ada pengaruh dari literatur yang selama ini kalian baca terhadap penulisan lirik?
Cholil : Gue awalnya nggak bisa nulis. Karena dulu yang biasa nulis lirik kan keluar dari band. Akhirnya gue baru-baru aja berusaha bikin lirik dan itu awalnya susah banget bagi gue. Banyak yang lagunya udah jadi tapi liriknya baru kelar sesaat sebelum rekaman. Tema besarnya sebenarnya sudah ada di otak, tapi gue belum bisa nulisnya aja. Karena yah itu, gue nggak biasa nulis. Tapi akhirnya, gue terus berjuang untuk bisa. Dengan standar tinggi menurut gue, nyoba-nyoba terus, ngulik-ngulik, akhirnya bisa nulis lirik yang maksudnya nggak lari, tapi pesannya dapet, spellingnya enak, menggal-menggalnya enak. Karena kesulitan bahasa Indonesia kan biasanya menggal-menggalnya nggak enak. Gue pribadi suka sastra tapi yang nggak terlalu berat. Gue suka Puthut EA, Iwan Simatupang.

Apa buku terakhir yang sedang dibaca?
Cholil : Buku yang sedang gue baca, bukunya Seno Joko Suyono, judulnya Sejarah Pornografi. Seno kalau nggak salah salah satu redakturnya majalah Tempo.

Materi album ini ditulis dari tahun berapa?
Cholil : Lagu-lagu yang dirilis sekarang dibuat semenjak kami nulis lagu dengan format bertiga aja. Itu sekitar tahun 2004. Rencananya materi yang sekarang dirilis, nggak mau dikeluarin. Kami mau buat yang lebih ringan. Waktu itu, kami udah buat rekaman live sepuluh lagu baru untuk guide rekaman. Tapi akhirnya kata Bin, sayang kalau materi itu nggak diapa-apain. Sayang kalau nggak direkam. Ya udah akhirnya kami merekam materi yang dulu yang akhirnya kami rilis sekarang. Dan sepuluh lagu baru yang sudah direkam live itu dipendem lagi.

Untuk album berikutnya, kalian akan menggunakan stock lagu tersebut atau kalian akan menggunakan lagu-lagu baru?
Cholil : Bisa iya, bisa tidak. Sampai detik ini kami masih selalu menulis lagu. Mungkin sebulan, dapat dua lagu. Itu semua juga bisa terjadi karena kami rutin latihan. Dari awal kebentuk kita nggak pernah manggung tapi latihan jalan terus. Akhirnya lagu kekumpul banyak. Bisa jadi lagu-lagu dulu akan terpakai untuk album selanjutnya atau mungkin juga materinya akan lagu baru semua. Sampai saat ini, kami juga masih berusaha untuk mencoba merombak lagu-lagu yang dulu ditulis saat masih berlima, agar masih bisa sejalan dengan format kami yang sekarang.

Banyak band malah sulit untuk melakukan latihan rutin, tapi malah kalian melakukannya dari dulu ya, jauh sebelum merilis album.
Cholil : Kami dari tahun 2001, memang mulai rutin latihan tapi memang nggak pernah manggung. Manggung pertama baru tahun 2005.
Akbar : Kalo dipikir-pikir bingung juga. Dulu kami latihan terus tetapi nggak kepengen bubar. Kalo menurut gue itu juga tergantung ketulusan orangnya masing-masing juga ya. Kalau ada satu orang di band yang misalnya mengharapkan untuk segera recording atau segera manggung dan dua-duanya nggak kejadian juga, itu bisa goyang. Kami sih memang pengennya manggung dan recording, tapi nyadar diri juga. Mau bikin band, eh ditinggal dua personil jadi bertiga. Yah jadi otomatis harus mulai dari nol lagi.
Cholil : Tujuan awalnya sebenernya, kami nggak mau keluar kalau belum matang karakternya. Gue sendiri juga nggak bisa maen gitar pada awalnya karena dulu gue kan cuma nyanyi. Karena ditinggal oleh pemain gitar, jadi mau nggak mau gue harus belajar gitar. Jadi waktu itu gue ngejar skill juga. Mungkin kalau tahun 2002 sudah manggung pasti berantakan.(tertawa)

Berarti situasi disaat itu sangat menguras energi dan kesabaran ya?
Cholil : Karena secara teknis Akbar yang paling jago jadi dia yang paling sabar untuk nunggu gue dan Adrian mempelajari instrumen masing-masing yang baru dikuasai. Yah itu makan waktu juga kan, atau makan hati nggak kira-kira?(tertawa)
Akbar : Ya mungkin pada dasarnya kami bertiga saling mengagumi satu sama lain. Gue suka banget sama lirik-lirik Cholil, gue juga suka sama nada-nada yang dia bikin, dan dia orangnya sangat terbuka dan mau kerjasama. Kami selalu menghargai setiap usulan yang diberikan masing-masing personil. Dan menurut gue salah satu yang bikin band langgeng yah harus seperti itu juga.

Kalian sering menghabiskan waktu bersama?
Akbar : (tertawa) Kami jarang ketemu yah selain latihan. Karena kesibukan pekerjaan masing-masing juga. Kami ketemu seminggu sekali, dan itu buat latihan. Cholil kerjanya lembur terus. Adrian kerjanya juga sibuk belum lagi dia sudah berkeluarga. Sedangkan gue, mereka pulang kerja, malah gue baru berangkat. (tertawa)

Jika musik Efek Rumah Kaca dijadikan scoring sebuah film, kira-kira filmnya akan seperti apa? Dan siapa sutradaranya?
Cholil : Gue rasa film Panchiko karya Harry Dagoe cocok banget untuk musik kami, contohnya lagu “Melankolia” Iya, Pachinko itu tonenya “Melankolia” banget tuh. Sendu-sendu gitu, nggak banyak dialog. Kalau beberapa lagu kami yang gloomy mungkin akan cocok untuk film-film yang mempunyai karakter seperti film Photograph atau juga Kala.

Film Kala sayangnya sudah Zeke yah yang mengerjakannya. Berbicara soal Zeke, apa pendapat kalian tentang Zeke and The Popo? Sepertinya kan musik kalian mengambil roots yang sama, walau eksekusinya beda.
Cholil : Zeke and The Popo keren! Kami memang nggak secomplicated mereka. Itu juga karena kemampuan skill kami yang belum mencukupi. Yang kami lakukan hanya mencari nada. Kemampuan sound dan teknis kami masih sangat kurang.

Kalau demo-demo lagu yang kalian rekam di rumah, pake komputer? 
Cholil : Kalau merekam di rumah nggak pake komputer. Jadi semua lagu direkam hanya melalui tape. Standar aja, maen gitar terus direkam lewat tape, lalu besok diulik lagi, siapa tahu bisa dapet nada baru. Selain lirik, kami juga sangat peduli dengan nada, karena kami ingin dapat karakter musik yang benar-benar kami mau. Dan kami ingin sekali terdengar bahwa Efek Rumah Kaca ini adalah band Indonesia.

Kalau sudah merekam di tape, kan materi mentah langsung dibawa ke studio. Bisa diceritakan proses pematangan lagu kalian seperti apa?
Cholil : Kami bertiga selalu mengikuti lagu. Tunduk sama lagu. Lagunya mau apa, kami ngikutin. Kalau nggak perlu ada drum, ya nggak usah ada. Nada-nada yang dipilih memang berusaha membangun suasana agar nyeret yang dengar agar ikut dengan temanya. Kalau suatu saat lagunya nggak perlu ada vokal, hanya kuat di instrumen aja, juga nggak kenapa-kenapa. Tapi untuk sekarang, belum ada lagu kami yang seperti itu.

Oh iya, saya dapat cerita dari anak-anak Dear Nancy mengenai tur kalian bersama Evonica kemarin, kabarnya seru sekali yah? Katanya waktu konser di Jombang masanya banyak banget. Malah ada yang bawa spanduk Slank segala.
Cholil : Iya, itu berasa kayak konser Ungu. (tertawa) Acaranya memang gede-gedean, tempatnya aja di alun-alun. Kami nggak pernah mimpi bisa dapat panggung segede itu lagi, dengan penonton yang se-awam mereka.

Responnya tapi bagus?
Cholil : Yah buat kami sih nggak begitu yah. Kami waktu itu bawa set-list yang agak kenceng. Mungkin penonton nggak seantusias seperti saat Dear Nancy tampil, karena waktu itu Dear Nancy bawain dua lagu Beatles. Jadi lebih familiar. Sedangkan kami bawain lagu sendiri yang masih asing banget bagi mereka. Dan terbukti pas ada band lokal dari Jombang yang bawain lagu dari Mata band, respon penonton langsung sangat meriah. (tertawa)

Kalau gig terbaik selama tur waktu itu?
Akbar : Di Solo. Kami pas di panggung juga nggak nyadar respon penonton kayak gimana. Baru setelah turun panggung, orang-orang nyalamin kami sambil ngomong, “This is your night man!” Jadi kami baru tahu belakangan, ternyata ada sebuah radio terkenal di Solo yang sering muter lagu kami yang “Di udara.” Jadi pas kami manggung kamaren, waktu bawain “Di udara”, semua orang pada nyanyi.

Lagu “Di udara” itu kalau nggak salah yang ada di kompilasi Bad Sector Records bukan?
Cholil : Iya, benar. Kompilasi itu sebenernya udah mau dirilis, kami diajak paling terakhir diantara band-band lain yang ada di kompilasi itu. Mereka kan udah buat konsep kompilasinya yaitu musik-musik dari tahun 60an sampai 2000an. Lalu kata mereka, kurang satu lagi. Akhirnya kami diajak.

Kalian dikategorikan tahun berapa ya?
Cholil : (tertawa) Nggak tahu juga ya, kami sebenernya tahun berapa. Yang pasti mereka menganggap kami band folk. (tertawa) Ada bau-bau Bob Dylan, kata Gucap - pencetus kompilasi ini - kalau melihat Efek Rumah Kaca. Kami sih iya-iya aja, biar diajak ikut kompilasi aja. (tertawa) Eh akhir-akhirnya, malah lagu “Di udara” yang jadi singel.

Oh itu jadi singel ya? Saya belum begitu memperhatikan waktu itu. Saya baru benar-benar mengenal musik kalian dari kompilasi Paviliun Records. Dan sesudah kompilasi itu dirilis, mulai banyak teman-teman saya yang kebetulan sama-sama main musik juga yang menggemari musik kalian. Sampai sekarang ini, kalian belum mulai promo album, namun nama kalian sudah banyak diperbincangkan paling tidak diantara musisi-musisi, sejauh pengamatan saya. Apa pendapat kalian mengenai hal ini?
Cholil :  Kami sih mikirnya, berarti ada chance deh untuk kemungkinan musik kami diterima, minimal oleh pemusik dulu. Karena kami nyadar, mungkin musik kami nggak berat tapi asing. Mungkin untuk penggemar Radiohead masih dapetlah.

Kalau bisa memilih, kalian lebih nyaman mana, sebagai sebuah grup yang mempunyai banyak penggemar dengan frekuensi manggung yang banyak seperti di pentas-pentas seni sekolah atau sebagai sebuah grup yang walau tidak terlalu naik, dan frekuensi manggung tidak begitu sering namun kalian tetap eksis dengan penggemar yang tidak begitu banyak tetapi setia?
Cholil : Kalau gue pribadi mau dua-duanya juga nggak kenapa-kenapa. Yang penting pesan lagu kami dapet ke orang banyak. Tapi kalau dilihat dari kondisinya sih, kami nggak akan kayak The Upstairs.* (tertawa)



 ------------

*Dan jawaban terakhir dari Cholil di atas terbukti tidak terjadi. Efek Rumah Kaca pada akhirnya menjadi salah satu band dengan frekuensi panggung tertinggi dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Bahkan melebihi The Upstairs. :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Day #11: The Like In I Love You

Lampau: Ulasan Album Centralismo - SORE