Mengenal SORE di Usia Dini


Dalam wawancara saya dengan SORE terdahulu, ada satu fakta yang terungkap bahwa musik SORE ternyata bisa dinikmati oleh berbagai golongan umur, dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Salah satu bukti nyata dari fakta tersebut, bisa disimak pada wawancara saya dengan Daffa Andika, seorang kampiun yang mengenal dan menyukai musik SORE saat ia duduk di bangku kelas enam SD. Simak penuturannya sebagai berikut:



Kapan pertama kali lo dengar musik SORE? Umur berapa saat itu?

Perkenalan gue dengan Sore adalah ketidaksengajaan. Pada suatu sore di tahun 2006, gue sedang mengganti-ganti channel TV tanpa harapan tertentu selain tayangan yang paling tidak cukup menghibur. Sampai akhirnya pergantian kelebat gambar di TV itu berhenti di O Channel, channel regional Jakarta. Gue yang kelas 6 SD, sekitar umur 12 tahun, itu seketika diam terkesima merasa dihajar telak di muka namun juga dipeluk tepat di hati pada saat yang bersamaan. Janggal tapi nyaman. Suara gitar yang usil itu, suara lelaki yang malas dan resah itu, dentingan piano yang sinis itu, terompet yang bijak itu, videoclip Somos Libres.

Apa kesan pertama yang lo dapat saat mendengar SORE?

Ada semacam perasaan yang janggal, seperti dingin namun juga hangat. Seperti terasingkan namun juga seperti pulang ke rumah. Bijak tapi brengsek. Seperti diculik ke masa kolonialisme silam tanpa tau siapakah mereka sebenarnya; para pribumi berkeringat berkulit coklat, para priayi mabuk gengsi, atau meneer-meneer yang kebanyakan waktu luang. Rebellious tapi kompromis. Entahlah, sulit menjelaskannya. Yang pasti adalah saat mendengar mereka, gue tau kalo mereka adalah satu-satunya band yang akan sangat gue suka untuk waktu yang sangat lama.

Menurut lo pribadi, apa keunikan SORE dibandingkan dengan band-band lain di Indonesia?

Pembawaannya. Pendekatannya. Konsepnya. Temanya. Sikapnya.

Mungkin juga karena mereka melakukan ini pada umur yang sudah, katakalanlah, dewasa. Mereka benar-benar tau apa yang mereka lakukan. Mereka paham betul apa yang mereka buat. Jika ternyata tidak pun, tapi itu yang gue rasakan.

Latar belakang selera dan refrensi mereka rasanya juga berpengaruh. Semangkuk tepung adonan dari ke-political dan filosofisnya Ade, ke-Beatles-an Awan dan Ade, ke-rocknroll-an Echa, ke-klasik-Eropa-eropaan Mondo dan Bemby, ketropisan Ade, kesinematisan Mondo dan Ade, kejeniusan Mondo.

Sejauh ini sepertinya masih belum ada yang bisa melebihi itu semua. Jika harus menyebut nama terdekat yang memberikan rasa yang hampir mirip-mirip, adalah Zeke and the Popo dan Mantra.

Kapan pertama kali mendeklarasikan diri sebagai seorang kampiun?

Setelah membeli album Ports of Lima. Sekitar akhir 2008-awal 2009, kurang ingat pasti. Momen peresmiannya adalah saat gue akhirnya mengirim SMS kepada Pochi, ketua fans club Sore, untuk mendaftarkan diri sebagai Kampiun :')))

Kegiatan apa saja yang dilakukan para kampiun selama ini? Seberapa dekat hubungan lo dengan para kampiun lainnya?

Setelah 'pendaftaran' diri tersebut, gue mengusulkan ke Pochi untuk mengadakan semacam gathering para kampiun-kampiun dengan format gig Sore yang intim. Setelah disampaikan dan disetujui pihak Sore, terjadilah Sore Y Las Familias. Dibentuk pula kepanitian yang terdiri dari belasan kampiun yang kemudian disebut dengan Las Familias. Kegiatan Las Familias setelahnya kayak nonton gig Sore bareng, buka puasa bareng, nonton bareng film-film yang scoringnya dikerjakan Mondo & Bemby atau yang memakai lagu Sore sebagai soundtrack, dll. Karena Kampiun pasti jumlahnya sangat banyak dan tersebar di segala penjuru, tentu gue gak gak mengenal dan dekat dengan mereka semua. Tapi gue pada akhirnya juga memang jadi berteman dan dekat dengan orang-orang hanya karena sesama pecinta Sore.

Seberapa sering lo menyempatkan diri untuk datang pada setiap gigs SORE?

Hampir di setiap gig Sore kisaran Jabodetabek dan Bandung sebelum mereka mulai meredup dan menghilang.

Gigs SORE paling berkesan?

Sore Y Las Familias, 2009. Salah satu gig terintim Sore, berangkat dari usul gue, mendapat keluarga baru Las Familias, pure DIY tanpa sponsor, jualan tiket di McD sampe diusir karena dikira jualan narkoba hahaha, dan sold out! Betapa bahagianya. Dan juga itu benar-benar pertama kalinya gue bisa bertemu, duduk, ngobrol dan berada di sekitar para om-om Sore.



Konser BFN Sejarah Adalah Sekarang, Salihara 2009. long-set Sore pertama buat gue. Sound dan lightning terindah yang pernah gue liat untuk Sore. Memainkan "Ambang" untuk pertama kalinya secara live, gue masih inget gue sampai nangis sambil mangap :')) Memainkan untuk pertama kalinya juga "Lullaby Blues" featuring seorang pria tua bersuara super, yang mereka bilang sih ayahnya Mondo tapi samapi sekarang gak pernah tau juga itu bener apa nggak haha. Karena sakit dan harus berdiri di sisi penonton, posisi Echa digantikan oleh David Tarigan. Tidak ingat apa saja yang mereka bilang di panggung, tapi ingat kalo itu sangat lucu.

Lagu SORE favorit yang jarang dimainkan di panggung?

"Ambang" dan "Come by Sanjurou"

Lagu SORE favorit yang bisa lo dengarkan berulang kali tanpa bosan?

"Ambang", "Apatis Ria (Apeontheroof Remix)", "Come by Sanjurou", "Ernestito", "Indahnya Dunia (Jingle Coca Cola)", "Layu", "Lullaby Blues", "Nancy Bird", "Pergi Tanpa Pesan", "Setengah Lima", "Somos Libres" dan "Sssst..."

Siapa personil SORE terfavorit?

Ade Paloh untuk segala hangat dan dinginnya dan Ramondo Gascaro untuk dingin dan hangatnya.
Tanpa mengurangi segala hormat kepada keempat personil lainnya, jauh di dalam sana ada sebagian diri gue yang mengatakan bahwa Sore adalah musik Mondo dengan lirik dan suara Ade Paloh.





Dengan keadaan SORE saat ini, apa harapan lo sebagai seorang kampiun?

Gue tidak akan bilang semoga Mondo dan Dono bergabung kembali atau Sore dapat terus merilis album sebanyak mungkin. Tidak. Harapan gue tinggal: selesaikan dan wujudkan album "Los Skut Leboys" dengan Mondo dan Dono di dalamnya sebagai album terakhir, terus bikin satu konser terakhir yang megah di Teater Tanah Airku TMII atau Sentul International Convention Center dengan ratusan (berharapnya gak realistisnya sih sampe 1000 kalo bisa) pieces orkestra dan choir, sound dan lightning gila-gilaan. 

Di konser tersebut, SORE memainkan setengah Centralismo dan setengah Ports of Lima secara persis seperti di album, dengan "Apatis Ria (Apeontheroof remix)" gubahan Aghi Narottama dengan iringan langsung ratusan paduan suara dan orkestra yang juga dikonduktori oleh Aghi Narottama sendiri sebagai lagu terakhir. Lalu Sore bubar untuk selama-lamanya :)

Semua foto dan image oleh Daffa Andika


Daffa Andika saat ini masih mengejar gelar sarjana di suatu universitas swasta Jakarta, sembari sesekali menulis untuk Gigsplay, menyicil mencari pertanyaan-pertanyaan untuk mewawancarai Wayne Coyne, Thom Yorke, Bjork dan figur-figur penting di scene musik lokal setiap harinya. 






Dan ini adalah video dari Daffa yang menyanyikan lagu "Sssst..." dengan memparodikan gaya bernyanyi dari beberapa band lokal. 







Komentar

  1. bang, saya lagi bikin tugas "perancangan identitas visual ade paloh" punya informasi mendalam ga tenang ade paloh?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Day #11: The Like In I Love You

Lampau: Ulasan Album Centralismo - SORE