Seni Ketidakmungkinan

Sebagai generasi millenial, saya dan kalian semua yang lahir  di awal 80an hingga awal 2000an, pasti terbiasa dengan apa yang namanya multitasking. Apa yang kita lakukan sehari-hari dengan smartphone saja sudah termasuk multitasking. Misalnya sambil ngescroll timeline social media, sambil dengar lagu dan sesekali jawab chat.


Bisa saya katakan, generasi millenial ini terdiri dari manusia-manusia multidimensi. Manusia yang tidak pernah bisa atau cukup untuk memiliki satu ketrampilan atau pekerjaan saja. Mereka ini memiliki banyak alter ego yang berjalan beriringan.

Belum lama ini saya bertemu seseorang yang memiliki pekerjaan harian sebagai seorang pegawai negeri sipil yang memiliki hobi menulis blog. Karena kesibukannya di siang hari, kegiatan menulis blog itu ia lakukan di malam hari. Sementara di akhir pekan, dia kerap travelling ke berbagai tempat yang nantinya pengalaman travellingnya itu akan ia ceritakan di blog. Semua hal tersebut ternyata memungkinkan untuk dijalani sehari-hari.

Bagi generasi millenial, nothing is impossible. Jika pada prosesnya mereka terbentur akan situasi yang sepertinya tidak memungkinkan untuk mereka terus maju, generasi millenial malah akan membawa ketidakmungkinan tersebut menjadi sebuah celah yang memungkinkan. Impossibilities is just another possibilities.

Hal tersebut mengingatkan saya pada sebuah billboard yang baru-baru ini saya lihat. Gambar di billboard ini  berubah mengikuti waktu siang dan malam. Seperti mau menunjukkan bahwa sesuatu bisa bergerak ke banyak arah. Sementara tagline di billboard ini yang berbunyi “Gak ada yang gak mungkin. Mungkin”, itu seperti menegaskan bahwa dengan tekad dan determinasi yang besar, ada kemungkinan hal yang mustahil bisa kejadian.

Tekad besar itu memang menjadi modal yang dapat membuat saya yang baru pulang tengah malam karena lembur di kantor dapat bangun lebih pagi untuk dapat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan saya di luar kantor yang memang menjadi passion saya.

Saat ini selain menjadi pekerja harian di dunia digital advertising, saya juga sedang merintis pekerjaan sebagai seorang music stylist atau yang di dunia film/TV biasa dikenal dengan nama music supervisor. Pada dasarnya tugas dari music stylist atau music supervisor ini bertanggung jawab atas pemilihan musik yang relevan dan adaptif dengan ruang, gambar, brand image dan berbagai elemen lainnya yang berkaitan dengan kebutuhan audio yang selaras. Bertanggung jawab di sini artinya juga seorang music stylist juga mampu untuk mengurus semua lisensi musik yang diperlukan sebelum musik tersebut disiarkan ke publik. 

Pemilihan musik yang saya lakukan bisa untuk brand dalam medium digital, film/TV, retail, tempat-tempat umum seperti restoran, cafe dan hotel hingga untuk event-event seperti fashion show, bazaar, dll. Silahkan mengirimkan email jika kalian memerlukan service ini. *tetep jualan*.


Jadi, anggapan bahwa jadi anak agency itu tidak punya kehidupan selain di kantor ternyata hanya isapan jempol semata. Setelah menjalaninya sendiri, semua itu mungkin-mungkin saja. Dan rasanya malah sangat perlu punya kehidupan selain di kantor, bisa untuk menjalani hobi atau melakukan pekerjaan lain. Karena itu semua yang dapat membuat kita tetap waras.

Hal ini saya sering katakan kepada para junior di kantor saya untuk dapat menjalani kegiatan selain kantor yang dapat membuat mereka menjadi lebih hidup. Kan kasian kalo sehari-hari mereka hidupnya cuma habis di jalan, kantor klien atau lembur.

Sebagai penutup, ada satu pendapat dari teman saya ArdiWilda yang menarik untuk kita simak. Katanya “Jam 9 pagi hingga 7 malam adalah waktu untuk berjuang biar tetap hidup sementara jam 7 malam hingga 11 malam adalah waktu untuk berjuang biar tetap menjadi manusia”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Day #11: The Like In I Love You

Lampau: Ulasan Album Centralismo - SORE

Enam Lagu Yang Mendefinisikan Paloh Pop